Ternyata Ini Sederet Alasan Mengapa Tupperware Bangkrut

Ternyata Ini Sederet Alasan Mengapa Tupperware Bangkrut

Tupperware Terancam Bangkrut-RJ-

RADAR JABAR - Mengapa perusahaan seperti Tupperware bisa terancam bangkrut? Saham mereka sudah turun 95% dalam lima tahun terakhir, yang merupakan penurunan signifikan. Jika seseorang berinvestasi sebesar 100 juta rupiah lima tahun lalu, kini hanya tersisa kurang dari 5 juta.

Meski demikian, anehnya, pendapatan mereka di tahun 2022 mencapai hampir Rp20 triliun. Namun, pendapatan bukanlah gambaran keseluruhan. Mereka justru mengalami kerugian hingga belasan juta dolar.

Jika kita analisis lebih jauh perusahaan Tupperware, aset dan liabilitas mereka menunjukkan bahwa jumlah liabilitas, atau utang, lebih besar dibandingkan aset.

Bahkan, di tahun 2022, arus kas mereka menunjukkan defisit lebih dari 100 juta dolar. Pertanyaan muncul, bagaimana ini bisa terjadi? Terlebih lagi, merek ini sudah sangat dikenal di kalangan ibu rumah tangga, dan seolah-olah telah menjadi merek nomor satu di segmen tersebut.

Ada beberapa alasan yang bisa diidentifikasi, seperti arogansi, terlambatnya adaptasi terhadap media sosial, serta kurangnya inovasi.

Sejarah Tupperware

Untuk memahami lebih dalam, mari kita mulai dari sejarah Tupperware. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1946 dan telah beroperasi selama hampir 80 tahun. Produk mereka sangat terkenal karena ketahanannya, dapat digunakan berulang kali, serta mudah disusun dan disimpan.

BACA JUGA:Strategi Nokia untuk Bangkit Lagi Setelah Hampir Bangkrut

BACA JUGA:Sri Lanka Utang ke Tiongkok hingga Bangkrut, Xi Jinping Tetap Akan Beri Bantuan

Bahkan, produk Tupperware sering dianggap berharga oleh para ibu, sehingga hilangnya produk tersebut bisa menimbulkan kemarahan. Hingga kini, Tupperware sudah hadir di lebih dari 100 negara melalui toko ritel dan penjualan langsung.

Namun, setelah 77 tahun eksis, mengapa mereka kini terancam bangkrut? Ada rumor tentang rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Hal ini bisa menjadi pelajaran penting bagi kita dalam seri #BedahBisnis.

Banyak perusahaan besar yang kini mulai menunjukkan tanda-tanda keruntuhan. Secara finansial, jika dilihat dari laba bersihnya, Tupperware memang kesulitan untuk mencetak profit yang cukup untuk menutupi operasional.

Padahal, jika kita melihat margin kotor mereka, yaitu sekitar 60-70%, itu adalah angka yang bagus. Artinya, produk yang dijual seharga 100 ribu memiliki biaya produksi sekitar 30-40 ribu. Namun, ada pepatah bahwa perusahaan besar yang tidak beradaptasi akan stagnan.

Dan itulah yang terjadi pada Tupperware dalam lima tahun terakhir, di mana pendapatan mereka stagnan, sehingga perlahan-lahan profit mereka terkikis hingga tidak dapat menutupi operasional.

Saat ini, saham mereka di bursa hampir dihapus atau di-delisting, karena mereka bahkan tidak melaporkan laporan keuangan tahunan yang wajib. Menurut CEO mereka, Miguel Fernandez, perusahaan sedang berusaha mengumpulkan dana tambahan agar tetap bisa bertahan.

Sumber: raymond chin