Ternyata Ini Sederet Alasan Mengapa Tupperware Bangkrut

Ternyata Ini Sederet Alasan Mengapa Tupperware Bangkrut

Tupperware Terancam Bangkrut-RJ-

Namun, pelajaran penting di sini adalah bahwa suntikan dana belum tentu bisa menyelamatkan mereka dalam jangka panjang. Salah satu masalah inti sebenarnya ada pada faktor-faktor mendasar yang akan dibahas lebih lanjut.

Business Model Tupperware

Selama beberapa dekade, produk Tupperware dikenal memiliki kualitas yang baik. Mereka mengandalkan model bisnis penjualan langsung (direct sales). Secara sederhana, ada yang disebut sebagai independent contractor, atau dalam istilah mereka, Tupperware Consultants.

Para konsultan ini membeli produk dari Tupperware dengan harga diskon, lalu menjualnya kembali dan mendapatkan komisi. Jadi, intinya model bisnis mereka adalah penjualan langsung.

Pada tahun 1950-an, strategi ini sangat revolusioner. Produk berkualitas tinggi dipasarkan tanpa biaya besar untuk distribusi di berbagai tempat. Tupperware menjual produk ke para reseller, dan mereka yang bertugas menjualnya ke konsumen. Ketika stok habis, reseller akan kembali membeli produk dari Tupperware.

Kita tidak bisa menyalahkan strategi tersebut begitu saja, karena pada saat itu model ini sangat efektif dan mengurangi risiko bagi perusahaan. Dengan cara ini, Tupperware dengan cepat menyebar ke berbagai wilayah.

Namun, yang tidak diantisipasi adalah munculnya banyak pesaing ketika Tupperware sudah mendominasi pasar. Meski produknya tetap berkualitas, tanpa penyesuaian terhadap model bisnis di tengah masuknya pesaing, mereka bisa terancam.

Saat ada kompetitor, penting untuk memahami pangsa pasar. Seberapa besar pangsa pasar yang dikuasai Tupperware saat ini? Hanya sekitar 5,5%, yang jauh dari dominasi pasar. Sementara itu, pesaing utama mereka, Newell Brands, menguasai sekitar 40% pangsa pasar. Ini menunjukkan bahwa Tupperware perlu mempelajari perubahan ini.

Tupperware didirikan sekitar 70 tahun yang lalu dengan demografi utama yang terdiri dari ibu rumah tangga dan keluarga. Namun, sejak pandemi, atau bahkan beberapa tahun sebelumnya, perilaku pengguna berubah. Seharusnya Tupperware bisa menyesuaikan strategi untuk menjangkau generasi yang lebih muda, seperti milenial dan Gen Z, yang lebih aktif di media sosial.  kamingnya, mereka gagal beradaptasi dengan strategi ini.

Sebagai contoh, sejak tahun 2000-an, semakin banyak perempuan yang aktif bekerja sebagai profesional. Dulu, strategi Tupperware berhasil karena banyak ibu rumah tangga yang tidak bekerja.

Namun, karena perubahan perilaku dan keterbatasan waktu, merek-merek lain mulai masuk ke e-commerce, menawarkan solusi digital yang lebih efisien. Tupperware kalah di area ini, terbukti dari riset yang menunjukkan bahwa 42% konsumen lebih memilih berbelanja secara online.

Ketika Tupperware terlambat merespons tren ini, penjualan mereka stagnan, kepercayaan investor menurun, hingga akhirnya mereka kesulitan membayar operasional. Jika terus berlanjut, kebangkrutan bisa menjadi kenyataan.

Model direct sales yang dijalankan Tupperware masih efektif untuk menjangkau akar rumput, di mana konsumen dalam lingkaran tertentu sudah terbiasa membeli dari konsultan Tupperware.

Namun, untuk menarik audiens baru seperti milenial, Gen Z, dan generasi yang tumbuh dengan media sosial, tantangan menjadi lebih besar. Banyak konsultan Tupperware yang terlihat kurang aktif di platform online.

Selain masalah pemasaran, ada hasil survei baru yang menunjukkan perubahan tren konsumsi. Fokus Tupperware pada produk besar untuk keluarga besar kini mulai bergeser. Konsumen lebih banyak mencari produk yang lebih kecil, atau yang sekali pakai (disposable). Tren lain juga menunjukkan peningkatan minat terhadap produk yang ramah lingkungan, namun hal ini tidak tercermin dalam inovasi produk baru Tupperware.

Apakah karena kesombongan? Atau karena model bisnis direct sales yang membuat mereka sulit beralih? Setiap kali ada produk baru, mereka harus menjualnya lagi kepada semua konsultan. Secara sederhana, pada bab 2 ini, Tupperware kehilangan keunggulannya. Bukan karena kalah bersaing, tetapi karena kehilangan kelebihan yang pernah mereka miliki.

Mengabaikan Kehadiran Online

Sumber: raymond chin