Ternyata Ini Sederet Alasan Mengapa Tupperware Bangkrut
Tupperware Terancam Bangkrut-RJ-
BACA JUGA:2 Penyebab Utama Produk Lokal Indonesia Kalah Saing dengan Produk Asing
BACA JUGA:5 Produk Terbaik untuk Memanjangkan Rambut dengan Cepat dan Sehat
Mari kita bandingkan pendapatan dan laba bersih antara Lock & Lock dan Tupperware. Pertama, Tupperware jauh lebih senior dibandingkan Lock & Lock, dengan perbedaan usia sekitar 30 tahun. Meskipun demikian, pendapatan Tupperware tetap lebih besar.
Namun, ketika menilai sebuah perusahaan, kita tidak bisa hanya melihat dari ukuran atau besarnya pendapatan saja. Tren pertumbuhan juga penting. Di sinilah Tupperware mengalami penurunan, sedangkan Lock & Lock justru sedang naik daun, terutama di pasar Asia.
Meskipun Tupperware memperoleh 31% dari total penjualannya di Asia, angka tersebut turun sebesar 12%. Selain itu, sebagai perusahaan yang lebih lama berdiri, biaya operasional Tupperware, termasuk arus kas—uang masuk dan keluar—jauh lebih besar dan berat. Meskipun omzetnya besar, itu tidak bisa dijadikan kepuasan semata, terutama dengan biaya operasional yang mencapai $800 juta, yang menjadi beban berat bagi perusahaan.
Harusnya, dengan asumsi pertumbuhan yang terus naik, biaya tersebut akan menjadi masuk akal. Namun, kenyataannya tidak demikian. Mari kita rangkum mengapa Tupperware bisa menghadapi masalah seperti ini.
Kesimpulan
Merek besar yang sukses memonopoli pasar pada tahun-tahun pertama belum tentu akan bertahan dalam jangka panjang. Merek yang paling baik adalah yang mampu beradaptasi dan melakukan perubahan sesuai dengan perilaku konsumen yang terus berubah.
Kedua, meskipun penjualan Tupperware hampir mencapai Rp20 triliun, kita juga harus melihat pengeluarannya. Untuk perusahaan barang konsumen seperti ini, yang berkaitan erat dengan inventori dan pemasaran, sangat penting untuk memantau arus kas—uang yang keluar dan masuk—dengan cermat.
BACA JUGA:Ekonomi Sri Lanka Bangkrut, Apa Efeknya ke Indonesia?
BACA JUGA:Apa Penyebab Sri Lanka Bangkrut? Ini Dia Penjelasannya
Tupperware bisa dikatakan mengalami pembengkakan biaya (bloated) karena kurangnya inovasi dan ketidakmampuan untuk meningkatkan penjualan. Hal ini menyulitkan mereka untuk membenarkan pengeluaran mereka. Selain itu, harga saham Tupperware telah turun hingga 96% selama enam tahun terakhir.
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa saham merupakan alat yang mengantisipasi masa depan. Pembeli saham tidak hanya membeli perusahaan saat ini, tetapi juga mengharapkan perusahaan tersebut berkembang dalam jangka panjang. Penurunan harga saham yang drastis menunjukkan bahwa investor sudah kehilangan kepercayaan bahwa Tupperware akan bertahan lama ke depan.
Selain aspek finansial, kita perlu membahas keunggulan kompetitif Tupperware. Seberapa kuat daya saing mereka? Tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk 20 tahun ke depan. Adanya "moat" atau perlindungan kompetitif yang membuat pesaing sulit menyalip mereka adalah penting.
Saat ini, Tupperware tidak memiliki hal tersebut. Meskipun mereka mungkin memiliki rantai pasokan dan ekonomi skala, jika produk mereka tidak diinovasi, tidak menyelesaikan masalah bagi pengguna akhir, dan tidak bisa menarik pengguna baru, maka semua itu menjadi tidak berarti. Pesaing dengan dana lebih kecil mungkin saja dapat menyalip mereka.
Semoga perusahaan sebesar ini—yang menurut kami legendaris dalam branding—dapat memperbaiki kondisi keuangannya, mendapatkan pendanaan baru, dan setidaknya memiliki cukup napas untuk bertahan beberapa tahun ke depan.
Sumber: raymond chin