Kejaksaan Agung Periksa Tom Lembong Lagi, Berikut Kronologi Kasusnya
Kejaksaan Agung kembali periksa Tom Lembong--Antaranews.com
Persetujuan impor ini juga dikeluarkan tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian yang biasanya bertugas menganalisis kebutuhan gula dalam negeri untuk memastikan bahwa keputusan impor sesuai dengan kebutuhan nasional.
Selanjutnya, pada tanggal 28 Desember 2015, dalam rapat koordinasi bidang perekonomian yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Perekonomian dan melibatkan berbagai kementerian di bawah naungannya, diadakan pembahasan mengenai proyeksi kebutuhan gula nasional pada tahun 2016.
Dalam rapat tersebut, disimpulkan bahwa Indonesia menghadapi kekurangan pasokan gula kristal putih sekitar 200.000 ton. Kekurangan ini diperkirakan dapat mengganggu stabilitas harga gula di pasaran, sehingga impor diperlukan untuk menjaga ketersediaan stok gula dan menstabilkan harga gula di seluruh wilayah Indonesia.
Pada November–Desember 2015, tersangka CS selaku Direktur Pada periode November hingga Desember 2015, tersangka CS, yang menjabat sebagai Direktur Pengembangan Bisnis di PT PPI, menginstruksikan bawahannya untuk mengadakan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta dalam sektor gula, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.
Kemudian, pada Januari 2016, tersangka Tom Lembong memberikan persetujuan berupa surat penugasan kepada PT PPI. Surat tersebut pada dasarnya memberikan wewenang kepada perusahaan untuk memenuhi kebutuhan stok gula nasional serta menstabilkan harga gula melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri.
Langkah ini mencakup pengolahan gula kristal mentah menjadi gula kristal putih dengan target volume sebesar 300.000 ton.
Kemudian, PT PPI menandatangani kesepakatan kerja sama dengan delapan perusahaan. Kejaksaan Agung menjelaskan bahwa dalam rangka menjaga ketersediaan stok gula dan stabilisasi harga, yang seharusnya diimpor adalah gula kristal putih secara langsung.
Selain itu, yang berwenang untuk melakukan impor gula kristal putih ini seharusnya hanyalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT PPI.
Namun, dengan sepengetahuan dan persetujuan dari tersangka Tom Lembong, persetujuan untuk impor gula kristal mentah justru dikeluarkan. Delapan perusahaan yang diberi tugas untuk mengolah gula kristal mentah tersebut sebenarnya hanya memiliki izin untuk memproduksi gula rafinasi, bukan gula konsumsi
Delapan perusahaan memproduksi gula kristal putih yang kemudian seakan-akan dibeli oleh PT PPI. Namun, pada kenyataannya, gula ini dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor yang memiliki keterkaitan, dengan harga Rp16.000 per kilogram. Harga ini jauh melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan, yaitu Rp13.000 per kilogram, dan penjualan ini tidak dilakukan melalui mekanisme operasi pasar.
Melalui praktik tersebut, PT PPI memperoleh komisi sebesar Rp105 per kilogram dari setiap penjualan yang dilakukan oleh delapan perusahaan yang terlibat.
Dari kegiatan ini, kerugian negara diperkirakan mencapai sekitar Rp400 miliar. Kerugian ini setara dengan keuntungan yang diperoleh oleh delapan perusahaan swasta tersebut yang seharusnya menjadi milik BUMN, atau dalam hal ini PT PPI.
Sumber: antaranews.com