Sejarah Pengaruh LGBTQ di Eropa, Sudah Ada Sejak Zaman Yunani Kuno
Hyancinthus dan Apollo-madelinemiller.com-
Mengetahui adanya masalah ini, seorang jenderal legendaris dari pasukan Thebes menyarankan untuk membentuk pasukan Sparta dengan pasangan penyuka sesama jenis.
Ia beralasan bahwa ketika seseorang melihat pasangan mereka kesulitan, orang tersebut pasti akan mati-matian membantu pasangan tersebut karena tidak ingin kehilangan. Ternyata, pendekatan ini cukup berhasil.
Hal ini cukup membuktikan bahwa rahasia di balik kehebatan bangsa Sparta terletak pada anggotanya yang terdiri dari orang-orang gay. Pada dasarnya, pandangan orang Yunani Kuno tentang hubungan semacam ini sangat berbeda dibandingkan dengan pandangan orang zaman sekarang.
Orang-orang Yunani pada saat itu lebih mementingkan adanya peran pasangan aktif dan pasif dalam suatu hubungan daripada melihat jenis kelaminnya. Namun, di sisi lain, pria dewasa yang bersedia menjadi pasangan pasif dianggap sangat memalukan karena membiarkan pria lain mendominasinya.
Oleh sebab itu, pelaku hubungan sesama jenis pada waktu itu biasanya dilakukan oleh pria berjenggot dengan remaja laki-laki. Itulah sedikit sejarah tentang kaum penyuka sesama jenis di Yunani Kuno.
Sementara itu, di Romawi, terdapat beberapa kisah yang menceritakan tentang seorang kaisar yang memiliki hubungan romantis dengan laki-laki, seperti Kaisar Nero yang menikahi Sporus dan Kaisar Hadrian yang menjadikan Antonius sebagai pasangannya.
Sudah menjadi hal biasa jika seorang pria dari kalangan elit, entah itu bangsawan, senator, atau kaisar sekalipun, memiliki beberapa selir laki-laki di kamar mereka.
Biasanya, laki-laki yang boleh menjadi pasangan pasif dari pria berstatus tinggi tersebut adalah budak, mantan budak, atau sejenisnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka tidak memiliki ranah sosial yang jelas, sehingga tidak ada perlindungan bagi mereka.
Pada dasarnya, orang-orang Romawi pada waktu itu terkenal sangat patriarkal dan menjunjung tinggi maskulinitas yang didasarkan pada kemampuan untuk mempengaruhi diri sendiri dan orang lain yang berstatus lebih rendah, baik dalam politik, rumah tangga, maupun dalam hubungan. Hal ini menciptakan mentalitas penakluk yang pada akhirnya menciptakan hubungan sesama jenis.
Fakta ini membuktikan bahwa pada awalnya, bangsa Eropa tidak serta-merta menolak perilaku LGBT. Namun, setelah agama Kristen dianggap sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi, hukuman bagi pelaku penyuka sesama jenis mulai diterapkan.
Hal ini terlihat dari tindakan Kaisar Theodosius I pada tahun 390, yang menghukum pelaku penyuka sesama jenis dengan cara dibakar di depan umum atau dengan hukuman kebiri yang dilakukan oleh Kaisar Romawi Timur, Justinianus I. Diskriminasi ini terus berlanjut hingga Perang Dunia Kedua.
BACA JUGA:Daniel Mananta Jelaskan Maksud 'Woke Agenda' yang Ada di Sekolah Pendukung LGBT
BACA JUGA:Bupati Bandung Sebut Rancangan Perda Anti-LGBT Masuk Pada Prolegda
Intinya, bisa dibilang bahwa masuknya ajaran agama Abraham menjadi penyebab mengapa benua Eropa sempat menolak kaum LGBT. Meskipun demikian, di zaman modern seperti sekarang, keadaan malah berbalik di mana kaum LGBT semakin kuat dan terkesan menyudutkan kaum yang dianggap normal. Pertanyaannya adalah, bagaimana pengaruh kaum LGBTQ+ bisa sangat kuat?
Semua ini berawal pada tahun 1969 di New York, Amerika Serikat. Pada waktu itu, di penginapan Stonewall, tempat di mana kaum LGBT biasa berkumpul, pihak polisi tiba-tiba melakukan penggerebekan. Namun, siapa sangka bahwa pada malam tersebut, jumlah orang yang berkunjung lebih banyak daripada biasanya. Karena sudah muak ditindas, mereka akhirnya mencoba melawan, dan terjadilah kerusuhan.
Sumber: