World Water Forum Respons Krisis Air Dengan Mengangkat Peradaban Sungai Batanghari
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilman Farid saat menyampaikan pemaparan usai menghadiri sesi diskusi bertema "The power of local culture and knowledge for better water management" d-Tangkapan Layar-ANTARA/Andi Firdaus
RADAR JABAR - World Water Forum Ke-10 mengangkat peradaban Sungai Batanghari di Provinsi Jambi sebagai topik diskusi global untuk menanggapi krisis air bersih yang sedang melanda berbagai negara.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilman Farid setelah menghadiri sesi diskusi bertema The power of local culture and knowledge for better water management di Bali Nusa Dua Convention Center, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (21/5).
"Laporan perkembangan kondisi air Dunia 2024, kita tahu bahwa sebagian problem itu memang bisa mencari solusi teknis yang membangun infrastruktur yang bisa diakses dan seterusnya," ujar Hilman dalam konferensi pers di Bali.
BACA JUGA:Mendikbudristek Aturan Baru Soal UKT Berlaku Bagi Mahasiswa Baru
Laporan PBB melalui World Water Development menyatakan bahwa 2,2 miliar orang tahun ini tidak memiliki akses ke air minum. Selain itu, pada tahun 2022, 1,4 miliar orang mengalami dampak kekeringan. Pada periode yang sama, 10 persen migrasi global juga disebabkan oleh kekurangan air.
Dalam agenda diskusi yang menghadirkan perwakilan UNESCO serta berbagai delegasi negara itu dibahas tentang jalur rempah yang membentang dari kawasan Pasifik sampai pantai timur Afrika. Hilman mengatakan, Muaro Jambi seluas 4.000 hektare di bantaran aliran Sungai Batanghari sepanjang 800 Km merupakan jantung dari jalur rempah tersebut.
BACA JUGA:Tiba di Makkah, Jemaah Calon Haji Tidak Langsung Umrah Wajib
"Ini bukan hanya satu jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau melalui jalur laut, tetapi juga sistem sungai yang sangat kompleks di nusantara ini," ujarnya.
Menurut Hilman, situs yang sedang direvitalisasi oleh Kemendikbudristek ini menyimpan banyak temuan bersejarah dari abad ke-4 hingga abad ke-14. Temuan-temuan ini dapat dipelajari sebagai khazanah pengetahuan warisan yang, jika digunakan dengan tepat, dapat memberikan solusi besar terhadap masalah pengelolaan air.
"Karena belajar dari kearifan lokal di Bali ini, di mana masyarakat yang ada di hilir merasakan manfaat dari pengelolaan air yang sifatnya berkelanjutan, di hulunya memberikan dukungan sistem solidaritas," ujarnya.
Hilman menyatakan bahwa kekayaan budaya Batanghari dapat dihidupkan kembali di masa kini dengan dukungan sains dan teknologi modern untuk mengatasi sebagian masalah air global secara bijaksana dan berkelanjutan.
"Sistem nilai yang sebetulnya membentuk keseluruhan sistem pengelolaan air inilah yang kita pelajari. Itu adalah titik tolaknya," ujarnya.*
Sumber: antara