Menyentuh! Isi Curhatan Jessica Wongso di Depan Hakim Saat Divonis 20 Tahun Penjara

Menyentuh! Isi Curhatan Jessica Wongso di Depan Hakim Saat Divonis 20 Tahun Penjara

Isi Nota Banding Sekaligus Curhatan Jessica Wongso di Depan Hakim Saat Divonis 20 Tahun Penjara-Antara-

Setelah itu, saya ditangkap di hotel, di mana saya dituduh lagi mencoba untuk kabur, padahal waktu itu kami hanya mencari ketenangan dan kenyamanan yang tidak bisa didapatkan di rumah. Bahkan untuk keluar membeli makan saja sulit.

Mulai dari hari penangkapan, tekanan dari polisi semakin terasa. Mereka terus-menerus menyuruh saya untuk mengaku dengan rekaman CCTV sebagai senjata yang mulia.

Tidak peduli seberapa berat, sedih, tertekan, dan hancur apapun, dan siapapun tidak akan bisa membuat saya mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan, dan tidak mungkin akan saya lakukan.

Saya ditempatkan di sel yang ukurannya tidak lebih dari satu setengah kali dua setengah meter. Saya diperingatkan bahwa tahanan lain mungkin akan melakukan hal yang tidak baik terhadap saya.

Tidak ada satu barang pun yang saya miliki, dan tidak boleh dikunjungi oleh keluarga selama 5 hari ke depan. Satu-satunya benda yang ada di sana adalah sepotong pakaian kotor di lantai.

Sewaktu saya berbaring di sana, saya menangis dan bertanya-tanya apa yang sudah saya lakukan sehingga saya diperlakukan seperti ini. Saya mencoba mencari orang lain karena saya takut berada di sana. Saya tidak berani membayangkan bagaimana perasaan orang tua saya.

Lalu, saya coba mengintip dari satu-satunya celah untuk berkomunikasi, yaitu lubang kecil di pintu besi, tapi tidak ada seorang pun di sana. Pada malam berikutnya, direktur pimpinan umum yang menjabat saat itu datang ke sel saya dan mengajak ke satu ruangan, dengan disaksikan penjaga dari luar ruangan.

Dia mulai berbicara dalam bahasa Inggris bahwa dia merendahkan dirinya sendiri karena datang ke tahanan.

Kemudian dia meminta saya mengakui tuduhan yang diberikan kepada saya, dengan alasan bahwa jika sudah memeriksa rekaman TV, pada intinya dia mau mengatakan bahwa jika saya mau mengakui, maka saya akan divonis 7 tahun, bukan hukuman mati atau seumur hidup.

Kemudian, saya pun kembali ke sel. Di sana, saya berharap untuk bangun dari mimpi buruk ini, dan berpikir mengapa mereka sangat yakin bahwa saya menaruh racun di kopi tersebut.

Saya benar-benar tidak mengerti apa maksud dari semua ini. Salah satu pengalaman yang terberat adalah saat rekonstruksi di Grand Indonesia. Setibanya di sana, saya melihat banyak sekali polisi, baik di luar maupun di dalam gedung.

Apapun tujuan mereka, mereka sudah berhasil mengintimidasi saya yang mengenakan baju tahanan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan. Saya mendapatkan tatapan sinis dari semua orang, terutama pegawai Cafe Oliver.

Tapi yang membuat saya hancur adalah saat melihat Arif dan Hani, serta keluarga mereka, di balik ekspresi saya yang tenang. Saya hanya ingin berteriak kepada mereka bahwa saya tidak membunuh Mirna. Mohon tolong, saya sangat menderita.

Namun, pada saat itu, saya hanya bisa menerima perlakuan dan perasaan mereka, dan berdoa semoga Tuhan memberikan jalan keluar. Tidak selesai sampai di situ, saya harus berjalan menuju toko sabun di sore hari.

Pada hari Minggu, saya harus melewati pengunjung yang menghujat saya sebagai pembunuh berdarah dingin dan mengambil foto saya. Sampai sekarang, saya mulai tidak tahu bagaimana menghadapi semua itu. Saya kembali ke sel dan mengeluarkan semua air mata yang tertahan seharian.

Sumber: