Hikayat Peluit Dan Tongkat: Menjadi Pak Ogah Bukan Pilihan, Demi Receh Bertarung Di Jalanan

Hikayat Peluit Dan Tongkat: Menjadi Pak Ogah Bukan Pilihan, Demi Receh Bertarung Di Jalanan

Dimas,22, sedang bekerja menjadi juru parkir di Jalan Rancabali, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.- Foto:Akmal Firmansyah/JabarEkspres-

Sepanjang tahun 1999-2001, peneliti masyarakat Indonesia kontemporer asal Australia datang ke Bandung dan melihat sejumlah pemuda demi menyambung hidup, mereka bekerja yang cukup membahayakan jiwa raganya hanya untuk upaya menertibkan semrawut lalu lintas dengan imbalan receh yang tak seberapa. Mereka dikenal sebagai Pak Ogah, Ian Douglas Wilson dalam Politik Jatah Preman (2021), mengatakan akibat kondisi ekonomi yang sekolah hanya tamatan SD dan tidak memiliki kerja tetap akhirnya mereka terpaksa menjadi Pak Ogah.

Oleh : Akmal Firmansyah

Hingga saat ini sebutan Pak Ogah melekat di telinga masyarakat, menyebut mereka yang menertibkan lalu lintas dan menerima imbalan tak seberapa dari para pengendara.

Fenomena Pak Ogah nyatanya lebih berkembang hari ini, kebutuhan ekonomi, dan stigma masa depan suram selalu dilemparkan ke generasi muda, yang katanya salah bergaul. Dan itu menimpa ke generasi zilenial. Generasi muda energik dikenal sebagai generasi yang dekat dengan teknologi dan canggih. Namun ada lulusan SMK yang memilih menjadi Pak Ogah.

Sebetulnya menjadi Pak Ogah bukanlah pilihannya, ia terpaksa ketimbang harus selalu menanti iba.

Demi sesuap nasi, membanggakan orangtua, debu jalanan, bising kendaraan, cacian orang-orang, ia tempuh ketimbang harus berbuat jahat.

Potret Undervilleged Gen Z di Bandung Barat

Jika generasi zilenial adalah mereka yang lahir medio 1995-2010, maka Dimas yang lahir di tahun 2002, bisa disebut sebagai Gen Zilenial atau Gen Z.

Dimas adalah pemuda yang lahir dan tumbuh di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Sehari-hari ia bekerja menertibkan lalu lintas, terik panas matahari, debu jalanan dari polusi-polusi kendaraan menempel pada wajah dan pakaiannya, hujan deras terpaksa harus berteduh, dan barulah saat hujan reda ia kembali bekerja menerbitkan arus lalu lintas.

Ini bukan pilihannya, ia ingin bekerja seperti orang-orang memakai seragam, bukan rompi bertuliskan juru parkir, pendidikan 12 tahun yang ditempuh olehnya nyatanya tak bisa membuat dirinya sukses.

"Sebetulnya saya juga ingin bekerja kaya orang kantoran, pake seragam naik kendaraan. Pingin saya seperti itu, tapi gimana lagi, tatto di lengan, disebut salah pergaulan jadinya saya gini, jadi tukang parkir," ucap Dimas saat ditemui pada Jumat, 23 September 2022.

Dimas baru memulai jadi pak ogah, baru berjalan 7 bulanan, "saya inikan lulusan SMK, begitu ijazah keluar saya coba melamar pekerjaan, hasilnya nihil," tuturnya.

Selain itu, ia sudah pernah menjalin hubungan rumah tangga, karena berbeda prinsip dengan pasangannya. Insan muda ini terpaksa mengakhiri hubungan. "Karena berbeda prinsip, penghasilan yang kurang, jadi harus putus," katanya.

Dimas dibesarkan oleh seorang Ibu yang tangguh, saat ini ia hidup berdua dengan Ibunda tercinta. "Bapak dari saya umur 5 tahun udah meninggal,"ungkapnya.

Sumber: