5 Sisi Gelap Singapura yang Jarang Terlihat, Ternyata Begini Aslinya

5 Sisi Gelap Singapura yang Jarang Terlihat, Ternyata Begini Aslinya

Jalanan kecil di pusat perbelanjaan Singapura-Ilustrasi/Unsplash-

Pemerintah Singapura memang menyediakan lapangan pekerjaan bagi lansia agar mereka tetap bekerja, tetapi fasilitas yang diberikan tidak memadai. Para lansia ini tidak hanya berjualan makanan di restoran atau bekerja sebagai petugas informasi di stasiun, tetapi juga harus bekerja sebagai petugas kebersihan di supermarket, bandara, dan tempat-tempat publik lainnya.

Salah satu alasan mengapa banyak lansia masih bekerja adalah karena pemerintah Singapura menetapkan usia pensiun pada 63 tahun, sementara biaya hidup di Singapura terus meningkat setiap tahunnya.

3. Ketidaksetaraan Gender

Seperti di Korea Selatan dan Jepang, tren pernikahan di Singapura mulai memudar, sementara angka perceraian semakin meningkat. Salah satu penyebabnya adalah tuntutan pekerjaan yang sulit serta upaya yang tidak sebanding dengan biaya hidup sehari-hari.

Meskipun Singapura memiliki upah rata-rata tertinggi di Asia Tenggara, yaitu sekitar 4.585 dolar Singapura (sekitar Rp68 juta) per bulan, biaya sewa apartemen satu kamar saja mencapai sekitar 2.660 dolar Singapura (sekitar Rp27 juta). Bagi mereka yang berkeluarga, biaya hidup tentu bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi.

Selain itu, fasilitas perawatan dan kesehatan tidak memadai jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan permasalahan kesehatan yang ada. Masalah lain yang menonjol adalah ketidaksetaraan gender, di mana perbedaan pendapatan antara laki-laki dan perempuan cukup signifikan.

BACA JUGA:6 Sisi Gelap Presiden Soekarno yang Tak Terlupakan, Buaya hingga Diktator Jawa Sentris

BACA JUGA:Mengenal Sejarah dan Sisi Gelap Indomie, Popularitas Mie Gaga Meroket

Pendapatan perempuan di Singapura tercatat lebih rendah 12,5% dibandingkan laki-laki, atau hanya 87,5% dari pendapatan laki-laki. Tiga industri dengan kesenjangan upah terbesar adalah layanan kesehatan dan sosial (dengan perbedaan 2.340 dolar Singapura atau sekitar Rp26 juta), jasa keuangan dan asuransi (1.490 dolar Singapura atau sekitar Rp16,8 juta), serta informasi dan komunikasi (1.365 dolar Singapura atau sekitar Rp15,4 juta).

Padahal, perempuan Singapura membentuk 77% dari tenaga kerja di sektor kesehatan dan sosial serta mewakili 51% karyawan yang berpenghasilan minimal 7.000 dolar Singapura per bulan. Sebaliknya, 85% karyawan yang berpenghasilan kurang dari 2.000 dolar Singapura per bulan juga merupakan perempuan.

4. Memperbudak Pekerja Imigran

Singapura memiliki sejarah panjang terkait imigrasi. Dari hampir 6 juta penduduknya, sekitar 42% adalah warga asing yang bekerja atau menuntut ilmu di negara ini. Pekerja asing menyumbang 50% dari tenaga kerja di sektor jasa. Namun, kenyataan ini membawa fakta yang kurang diketahui banyak orang: praktik perburuhan yang eksploitatif telah dinormalisasi, terutama yang melibatkan pekerja migran.

Menurut Global Slavery Index, dari sekitar 46 juta orang yang hidup dan bekerja dalam kondisi seperti budak di seluruh dunia, lebih dari 9.000 di antaranya berada di Singapura.

Meskipun pelanggaran berat seperti penganiayaan fisik terhadap pekerja migran dihukum dan dikecam publik, praktik-praktik lain seperti penolakan hari libur, diskriminasi, upah rendah, penyitaan dokumen pribadi, dan kondisi hidup yang buruk masih ditoleransi.

Dalam artikel "Another Dark Side of Sparkling Singapore" oleh Sangeetha Thanapal, diungkapkan bahwa pekerja migran sering ditempatkan dalam kondisi yang tidak sehat dan tidak aman serta menghadapi risiko pribadi yang tinggi.

Mereka hidup dalam ruangan sempit dengan ventilasi buruk, yang menyebabkan penyebaran penyakit dengan cepat. Singapura, sebagai negara yang menganggap mereka sebagai alat sekali pakai dalam pertumbuhan ekonominya, tampaknya tidak peduli apakah para pekerja ini jatuh sakit atau meninggal.

BACA JUGA:5 Sisi Gelap Menyeramkan Makanan Cepat Saji (Fast Food)

Sumber: