Jangan Sepelekan! Ini 5 Dampak Negatif Kecanduan Video Pendek Seperti di TikTok

Jangan Sepelekan! Ini 5 Dampak Negatif Kecanduan Video Pendek Seperti di TikTok

Dampak Negatif Kecanduan Video Pendek-RJ-

Di sisi lain, mereka yang berkulit cokelat atau kurang sesuai dengan standar kecantikan TikTok sering menjadi sasaran komentar negatif, seperti disebut memiliki "aura magrib." Sikap ini sangat toksik, bukan?

Bagi sebagian konten kreator, hujatan atau pujian dianggap sama saja karena tujuan mereka adalah mendapatkan FYP (For You Page). Hal ini mencerminkan betapa mirisnya situasi ini.

Selain masalah standar kecantikan, media sosial juga mendorong banyak orang merasa tidak percaya diri karena konten yang memamerkan gaya hidup mewah. Ada yang menunjukkan mobil sport, rumah bak istana, atau gaya hidup glamour lainnya.

Penonton yang merasa hidup mereka jauh dari kata cukup bisa merasa kalah dan rendah diri. Tak jarang, ada yang sampai berkomentar curhat untuk meminta belas kasihan. Padahal, sebagian besar konten tersebut sering kali telah diatur atau menjadi bagian dari promosi berbayar.

TikTok, dan media sosial pada umumnya, kini menjadi tempat perbandingan sosial yang lebih luas. Jika dulu kita hanya membandingkan diri dengan tetangga sekitar, sekarang kita membandingkan diri dengan seluruh dunia. Dampaknya, banyak orang merasa kecil, minder, bahkan berharap mendapatkan belas kasihan.

Kesadaran akan hal ini penting agar kita tidak terjebak dalam lingkaran perbandingan sosial yang merugikan. Ingatlah bahwa media sosial sering kali hanya menampilkan versi terbaik dari kehidupan orang lain, yang belum tentu mencerminkan realitas mereka. Jangan sampai rasa percaya diri Anda ditentukan oleh apa yang Anda lihat di layar.

2. Kehilangan Harga Diri

Coba perhatikan tren live streaming di TikTok. Banyak orang rela melakukan apa saja demi mendapatkan gift, mulai dari makan makanan super pedas, menerima tantangan tidak masuk akal, hingga melakukan hal-hal yang membuat kita bertanya-tanya: apakah ini satu-satunya cara untuk bertahan hidup? Tragisnya, mereka sering mengorbankan rasa malu, harga diri, bahkan batasan-batasan yang seharusnya dijaga.

Media sosial semakin mendorong orang untuk melakukan apa saja tanpa peduli pada harga diri mereka sendiri. Bahkan ketika seseorang berpakaian sopan dan berniat membuat konten edukasi, jika wajahnya menarik sedikit saja, kolom komentar sering dipenuhi hal-hal aneh—mulai dari komentar nyeleneh hingga berbau seksual. Kadang-kadang, perhatian lebih tertuju pada penampilan dibandingkan isi konten itu sendiri. Ironisnya, niat berbagi ilmu malah berubah menjadi bahan komentar pornografi.

Seiring waktu, kita menjadi terbiasa dan kebal terhadap komentar-komentar semacam ini, menganggapnya sebagai hal biasa. Padahal, ini justru membuka sisi gelap media sosial yang semakin absurd. Di balik fenomena ini, algoritma FYP (For You Page) di TikTok dan platform lain membuat kita terus-menerus terjebak dalam konten yang serupa, seolah tidak ada jalan keluar.

Semakin banyak orang berlomba-lomba membuat konten, semakin banyak pula yang rela bertingkah aneh atau bahkan konyol demi mengejar views dan FYP. Pada akhirnya, standar hidup kita menjadi semakin terdistorsi. Konten yang viral bukan lagi yang memiliki nilai, tetapi yang mampu menciptakan sensasi—meskipun caranya memalukan.

Bayangkan jika kita terus hidup dalam lingkaran seperti ini. Batas antara hiburan, harga diri, dan privasi menjadi semakin kabur. TikTok dan media sosial lainnya memberikan panggung, tetapi apakah apa yang terjadi di atas panggung tersebut benar-benar layak diapresiasi?

Ini saatnya kita merenungkan bagaimana media sosial memengaruhi cara kita memandang diri sendiri dan orang lain. Sebuah riset dari Pew Research Center menunjukkan bahwa generasi muda saat ini sering merasa lebih stres dan tertekan karena terus-menerus berusaha mengikuti tren. Banyak dari mereka tidak menyadari bahwa mereka terjebak dalam siklus toksik dari konten yang hanya membuat mereka merasa tidak cukup baik.

3. Ekonomi Perhatian dan Algoritma TikTok

Algoritma TikTok merupakan salah satu mesin tercanggih saat ini. Algoritma ini memahami dengan tepat apa yang membuat kita betah sehingga kita akhirnya terbawa arus untuk terus menggulir layar (scrolling).

Algoritma ini secara tidak langsung "meretas" otak kita, menciptakan ketergantungan pada konten yang disesuaikan dengan minat kita—tidak peduli apakah konten tersebut menghibur, aneh, atau bahkan tidak masuk akal.

Masalahnya, ketika algoritma terus-menerus menyajikan konten sensasional atau absurd, otak kita mulai terbiasa melihat hal-hal ekstrem sebagai hiburan. Akibatnya, konten-konten yang lebih biasa menjadi terasa kurang menarik. Kita seakan-akan dilatih untuk lebih menyukai hal-hal yang konyol dan ekstrem, meskipun sebenarnya tidak bermanfaat.

Sumber: