3 Penyebab Jualan Agama Laku di Indonesia, Sampai Air Kobokan Pun Dianggap Suci
Penyebab Jualan Agama Laku di Indonesia-RJ-
Sebenarnya, hal ini tidak sepenuhnya salah. Kita tidak bisa memungkiri bahwa banyak tokoh agama yang memiliki niat baik dan tulus untuk membantu menyelesaikan berbagai masalah masyarakat.
Namun, ironisnya, masih banyak orang yang akhirnya dirugikan atau bahkan tertipu oleh pihak-pihak yang memanfaatkan agama sebagai kedok untuk mencari keuntungan. Ketidaktahuan masyarakat menjadi celah yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab ini.
Fenomena ini menciptakan hubungan antara "supply" dan "demand." Di satu sisi, ada masyarakat yang membutuhkan solusi instan, dan di sisi lain, ada pihak-pihak yang menawarkan produk atau jasa dengan embel-embel agama. Bentuk bisnis seperti ini pun kini semakin beragam, mulai dari air doa, garam ruqyah, hingga teh celup dengan tulisan ayat-ayat suci.
2. Literasi Keuangan yang Rendah
Investasi yang diklaim berbasis syariah sering kali dibungkus dengan label agama untuk menarik perhatian masyarakat. Salah satu kasus yang cukup populer terjadi pada tahun 2018 dengan investasi syariah bernama Kampung Kurma. Proyek ini menawarkan skema investasi dengan cara membeli lahan kavling yang diklaim akan digunakan untuk menanam pohon kurma.
Setiap kavling seluas 400 meter persegi dijual dengan harga sekitar Rp100 juta. Pada lahan tersebut, rencananya akan ditanam lima pohon kurma, dan pengelola menjanjikan bahwa setelah empat tahun, pohon kurma akan mulai berbuah. Para investor dijanjikan keuntungan hingga Rp90 juta per tahun. Janji keuntungan besar ini, ditambah dengan label syariah, berhasil menarik minat banyak orang.
Investasi ini berhasil menggaet sekitar 2.000 investor, dengan total nilai investasi mencapai sekitar Rp333 miliar. Sayangnya, banyak investor yang terlalu percaya karena pengelola Kampung Kurma dipandang sebagai orang-orang yang religius, bahkan didukung oleh seorang ustaz terkenal yang turut mempromosikan proyek tersebut. Akibatnya, para investor berani menyetorkan uang tanpa ada perjanjian jual beli yang sah secara tertulis.
Seperti yang dapat diduga, proyek ini tidak berjalan sesuai rencana. Ketika para investor mencoba menanyakan perkembangan proyek, pihak pengelola Kampung Kurma terus memberikan alasan bahwa proyek sedang diusahakan. Namun, kenyataannya, lahan yang dijanjikan tidak pernah dibangun, dan bahkan pohon kurma yang dijanjikan tidak pernah ditanam.
Kasus ini menunjukkan bagaimana agama di Indonesia sering digunakan sebagai alat yang kuat untuk menarik perhatian dan meyakinkan masyarakat. Label seperti "syariah," "berkah," atau "halal" cenderung membuat banyak orang merasa lebih yakin tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Selain itu, rendahnya pemahaman masyarakat tentang investasi juga menjadi faktor yang memperparah situasi. Banyak orang yang mengikuti tawaran investasi seperti ini tanpa berpikir panjang. Parahnya lagi, sering kali foto ulama besar digunakan untuk memberikan legitimasi, seolah-olah jika seorang tokoh agama mendukung, maka investasi tersebut pasti aman.
Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa agama di Indonesia rentan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, terutama dalam dunia bisnis dan investasi.
3. Kapitalisme Agama
Alasan lain mengapa bisnis berbasis agama sangat laris di Indonesia adalah karena agama telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Akibatnya, banyak pihak yang memanfaatkan agama sebagai komoditas untuk diperjualbelikan.
Contoh-contohnya dapat dilihat pada produk-produk seperti garam ruqyah, air doa, dan lainnya. Hal ini mencerminkan bagaimana agama diubah menjadi sesuatu yang bernilai jual, bahkan dapat dikategorikan sebagai bentuk kapitalisme dalam ranah agama.
Padahal, tujuan agama seharusnya menjadi sarana untuk memperdalam keimanan dan memperbaiki diri manusia, bukan digunakan sebagai alat penipuan yang dipelintir menjadi peluang bisnis. Sayangnya, hingga saat ini, di Indonesia belum ada regulasi yang jelas untuk mengontrol produk-produk yang menjual konsep agama. Aturan terkait hal ini masih tergolong abu-abu.
Sebagai contoh, ada sebuah video yang memperlihatkan banyak orang antre untuk mencium tangan dan mencelupkan jari seorang tokoh agama ke dalam botol. Tujuannya pun tidak jelas, tetapi setelah jari tokoh agama tersebut dicelupkan ke botol, ia langsung kembali bersalaman dengan orang lain dan mencelupkan jari ke botol lainnya.
Lebih mengejutkan, orang-orang tersebut juga menyerahkan uang yang dikumpulkan dalam kantong plastik. Jumlah uangnya tidak diketahui, tetapi fenomena ini jelas menunjukkan bagaimana masyarakat rela memberikan sejumlah uang tanpa memikirkan logika atau tujuan sebenarnya dari tindakan tersebut.
Sumber: