Orang Indonesia Bukan Nasionalis, Tapi 'Overproud' Narsistik

Orang Indonesia Bukan Nasionalis, Tapi 'Overproud' Narsistik

Orang Indonesia Bukan Nasionalis, Tapi Overproud-Unsplash/edited-

RADAR JABAR – Saat ini sulit membedakan yang mana orang Indonesia yang nasionalis dan yang mana yang narsistik. Apakah Anda pernah merasa bangga ketika Indonesia mendapat pengakuan internasional? Atau pernah marah dan mem-bully orang asing yang dianggap merendahkan Indonesia?

Dua perilaku ini semakin sering kita temui di internet dan sering dianggap sebagai ekspresi nasionalisme. Namun, ada juga - meskipun jumlahnya lebih sedikit - yang sinis terhadap fenomena ini. Mereka menyebutnya sebagai "overproud" atau terlalu mudah bangga dan terlalu mudah tersinggung ketika Indonesia disebut oleh orang asing.

Apakah ini fenomena yang nyata? Apakah istilah "overproud" hanya diciptakan oleh orang yang mencela, atau apakah sebenarnya memiliki makna yang penting? Jawabannya singkat, ya. Jawabannya panjang, kita perlu melihat kembali ke pertengahan abad ke-20.

Upaya Pengangkatan Nama Indonesia ke Kancah Internasional

Pada tahun 1958, Soekarno mengajukan proposal ambisius untuk menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 1962. Perlu diingat bahwa Jakarta pada tahun 1950-an tidak seperti sekarang, bukanlah sebuah metropolitan.

BACA JUGA:7 Dampak Negatif Kepribadian Narsistik Bagi Kesehatan

Untuk menyelenggarakan acara ini, Indonesia membangun Stadion Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Jalan Sudirman-Thamrin dan Cawang-Grogol, Masjid Istiqlal, Jembatan Semanggi, dan Monas dalam waktu singkat - hanya dalam 2 tahun. TVRI, stasiun televisi pertama Indonesia, juga dibangun untuk menyiarkan kemegahan Asian Games ke seluruh Indonesia.

Sejarawan menyebutnya sebagai "politik mercusuar," yaitu proyek pembangunan besar-besaran untuk menunjukkan kemegahan bangsa Indonesia di mata internasional. Ironisnya, rencana ini muncul di tengah kondisi keuangan negara yang kurang sehat, dengan masih banyak masalah yang mendesak.

Indonesia bahkan harus berhutang ke Uni Soviet untuk membiayai pembangunan ini. Ini adalah contoh klasik dari pamer prestasi sosial. Meskipun mendapat banyak kritik, Soekarno menjawab dengan gagah: Terlepas dari metodenya, argumen Soekarno ini memiliki landasan yang masuk akal.

Sejarah kolonialisme global telah menanamkan - dan menjadikan landasan - rasa inferioritas pada bangsa jajahan. Bangsa jajahan sering dianggap - dan mereka pun sering menganggap diri mereka sendiri - sebagai lebih rendah dari bangsa penjajah, dianggap bodoh, tidak rasional, dan tidak modern.

Bagi Soekarno, pembangunan megah ini juga merupakan pembangunan psikologis bagi bangsa Indonesia, untuk membuktikan bahwa Indonesia juga cerdas, rasional, dan modern.

Bagi Soekarno, kemerdekaan tidak hanya tentang mengusir penjajah, tetapi juga tentang menghilangkan rasa rendah diri di hadapan bangsa-bangsa dunia. Ekspresi kemegahan monumen yang menarik perhatian dunia ini tampaknya telah membentuk pandangan nasionalisme kita hingga saat ini.

Rasa nasionalisme kita membara karena merasa dunia mengenal kita, dunia mengakui kita. Pengakuan dan penerimaan memang penting, baik dalam level psikologis individu maupun dalam level politik internasional.

Namun, obsesi pada penerimaan dan pengakuan - seperti halnya obsesi terhadap hal lain - bisa menjadi tanda gangguan kejiwaan. Mungkin Soekarno tidak menyadari pada saat itu bahwa Asian Games 1962 tidak menciptakan nasionalisme yang sejati.

Sumber: remotivi