Nasib Para Nyai Pada Masa Penjajahan Belanda, Jadi Istri, Simpanan, hingga Gundik

Nasib Para Nyai Pada Masa Penjajahan Belanda, Jadi Istri, Simpanan, hingga Gundik

Nasib Para Nyai Menir Belanda Belanda-Nyai Dasima (kanan), Nyai Saritem (tengah) foto keluarga indo Nyai menir Belanda (kiri)-

RADAR JABAR - Dalam konteks historiografi kolonial, istilah "Nyai" cenderung memiliki konotasi negatif. Sejarah kolonial mencatat bahwa Nyai sering kali merujuk kepada perempuan-perempuan yang menjadi simpanan atau peliharaan para menir Belanda. Namun, penting untuk dicatat bahwa di Indonesia sendiri, gelar Nyai memiliki makna yang sangat beragam.

Sebagai contoh, di Jawa, Nyai dapat merujuk kepada istri pengasuh pondok pesantren atau Kyai. Di Kalimantan, Nyai dapat menjadi gelar untuk wanita terhormat yang bukan keturunan bangsawan. Sementara di Jawa Barat, Nyai adalah sebutan umum untuk wanita dewasa.

Sejarah mengenai Nyai sebagai simpanan menir Belanda berawal dari kebijakan pemerintah kolonial pada masa awal kedatangan mereka ke Nusantara pada tahun 1630. Pemerintah kolonial Belanda pada saat itu melarang perempuan Belanda datang ke Nusantara, dan yang diizinkan hanya istri-istri petinggi VOC. Akibatnya, Batavia pada waktu itu menjadi tempat penuh dengan pria Belanda dan Eropa yang merasa kesepian.

Pada abad ke-17, muncul banyak rumah bordir di Batavia sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan seksual para lelaki Eropa. Rumah-rumah pemuas nafsu birahi ini berkembang di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa, juga di Mangga Besar yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa. Tempat pelacuran di Mangga Besar disebut "Marco" karena para pekerja seks komersial (PSK) didatangkan dari Macau.

BACA JUGA:8 Makanan Khas Belanda yang paling populer dengan Kelezatan yang Menggoda!

Seiring berjalannya waktu, menir Belanda cenderung lebih memilih memiliki gundik dari kalangan pribumi daripada menggunakan PSK. Para gundik ini tidak hanya melayani kebutuhan seksual para Meneer, tetapi juga mengurus urusan rumah tangga dan mengawasi para pembantu rumah tangga.

Meskipun status mereka setara dengan istri, hubungan ini tidak resmi. Beberapa Nyai mendapatkan cinta dan kasih sayang layaknya suami istri yang sah, dan dari hubungan semacam itu, lahirlah keturunan-keturunan Indo Belanda.

Perlakuan VOC terhadap keturunan Indo Belanda sangat diskriminatif. Anak lelaki Indo Belanda mengalami keterbatasan dalam berkarir, tidak dapat mengejar karir sebagaimana orang Belanda asli.

Mereka dapat masuk sebagai pegawai VOC, namun terbatas pada peran sebagai tenaga militer atau juru tulis. Sementara itu, anak perempuan Indo Belanda menghadapi nasib yang tak kalah buruk. Banyak di antara mereka yang terpaksa bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di rumah-rumah bordir milik orang Tionghoa.

Nasib Para Nyai Pada Masa Penjajahan Belanda

 

1. Vince

Salah satu kisah tragis adalah tentang seorang perempuan Indo Belanda bernama Vince. Meski sangat cantik, nasib malang menimpanya saat dia menjadi pelacur di sebuah rumah bordir di Batavia. Dia kemudian dijadikan gundik oleh seorang pembesar Belanda, namun akhirnya tewas dibunuh oleh tuannya sendiri, seperti yang diuraikan dalam buku "Dutch Culture Overseas" karya Doktor Frances Gouda (1995).

Praktek kolonial di Hindia Belanda, sebagaimana dijelaskan dalam buku tersebut, mengungkapkan kehidupan pahit para Nyai. Mereka menjalani keseharian yang penuh dengan pekerjaan berat dan melayani nafsu seksual layaknya wanita murahan.

Pria Eropa yang mengawasi perkebunan karet dan tembakau memilih wanita cantik dari kalangan rendah, baik yang sudah menikah maupun belum, untuk dijadikan pelayan di rumah mereka, juga melayani para menir.

2. Nyai Sarima

Superioritas bangsa Belanda tercermin dalam penindasan hak asasi para Nyai. Kisah Nyai Sarima, yang hidup sekitar tahun 1920-an sebagai buruh pemetik teh miskin di Garut, adalah contoh nyata.

Sumber: