LBH 5 Kritik Keras Polisi yang Tangani Kasus Holywings

LBH 5 Kritik Keras Polisi yang Tangani Kasus Holywings

Holywings Indonesia. -holywings.com-

Seperti halnya pasal 14 ayat 1 dan 1 UU No. 1/1946 LBH Jakarta mengecam pasal "pukat harimau" yang kerap diterapkan secara eksesif.

Berikutnya Pasal 156 atau 156A KUHP, kasus ini semakin meneguhkan bahwa pasal penodaan agama sebagaimana diatur dalam PNPS 1/1965 memang bermasalah sebagaimana terungkap dalam proses persidangan perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 di Mahkamah Konstitusi yang di tahun 2017 juga menelan korban Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Selanjuntya Pasal 28 ayat (2) UU ITE, berdasarkan SKB Pedoman Implementasi UU ITE yang ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE bentuk maupun tujuannya harus membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA, bukan karena akibatnya yang ‘membuat orang lain menjadi benci dengan orang yang berbuat’.

4. Terdapat serangkaian pelanggaran prosedur hukum acara pidana dalam penanganan kasus ini. Sebagaimana telah disinggung di atas, Penyidik pada Polres Metro Jakarta Selatan “mengamankan” EJD, NDP, DAD, EA, AAB dan AAM untuk diperiksa sebagai saksi.

Dalam KUHAP tidak dikenal tindakan yang disebut “mengamankan”, yang dikenal adalah upaya paksa dalam bentuk penangkapan (Pasal 1 angka 20 KUHAP) yang hanya boleh dilakukan terhadap seorang tersangka. Sehingga berdasarkan fakta tersebut jelas bahwa 6 orang pekerja Holywings ditangkap sebelum ditetapkan sebagai tersangka.

Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menetapkan ketentuan mengenai penetapan tersangka yang tidak hanya berdasarkan 2 alat bukti, namun juga ditambah dengan pemeriksaan terhadap calon tersangkanya.

5. Ditemukan fakta bahwa pihak Holywings akan memberikan sanksi berat terhadap 6 pekerjanya yang ditetapkan sebagai tersangka.

Sebagai pemberi kerja, Holywings tidak boleh hanya menekankan sanksi yang akan dijatuhkan, melainkan tetap harus memenuhi hak 6 Pekerja/Buruh tersebut, berdasarkan Pasal 53 ayat (1) PP 35/2021, 6 pekerja tersebut berhak atas bantuan kepada keluarga Pekerja/Buruh yang menjadi tanggungannya dalam hal mereka sedang ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana.

Hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir, yang seharusnya digunakan dalam hal upaya-upaya lain telah dicoba dan tidak memadai untuk menyelesaikan permasalahan sosial-kemasyarakatan.

Dalam kasus ini, sudah sepatutnya digunakan terlebih dahulu upaya-upaya lain di luar hukum pidana seperti klarifikasi atau mediasi maupun upaya-upaya pada bidang hukum lain.

Penggunaan instrumen hukum pidana sebagai langkah awal dan utama (premium remedium) justru menguatkan dugaan bahwa aparat penegak hukum tidak paham dan taat asas, serta dalam pelaksanaan kerja-kerjanya rentan akan tekanan massa. (fin)

Sumber: