Pilot Project Pilah Sampah di Kab. Bandung: Anak Muda Jadi Motor Penggerak Perubahan Lingkungan

Pilot Project Pilah Sampah di Kab. Bandung: Anak Muda Jadi Motor Penggerak Perubahan Lingkungan

Pilot Project Pilah Sampah di Kab. Bandung: Anak Muda Jadi Motor Penggerak Perubahan Lingkungan--

RADAR JABAR - Kabupaten Bandung merupakan salah satu wilayah di kawasan metropolitan Bandung Raya yang tengah dipusingkan dengan persoalan persampahan. Bersama Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi, daerah ini sangat bergantung pada Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat, yang menjadi tujuan akhir sampah regional Jawa Barat. Ketergantungan ini menjadikan Kabupaten Bandung sangat rentan terhadap gangguan operasional di TPA tersebut.

Ketika TPA Sarimukti mengalami masalah—seperti kelebihan kapasitas, insiden kebakaran, atau penutupan sementara—dampaknya langsung dirasakan.

Sampah menumpuk di TPS, jadwal pengangkutan terganggu, dan sebagian warga bahkan terpaksa menimbun atau membakar sampah mereka sendiri. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan, tetapi juga memicu tekanan sosial dan ekonomi bagi pemerintah daerah yang harus mencari solusi darurat dalam waktu singkat.

Situasi inilah yang membuat Kabupaten Bandung harus memikirkan strategi baru. Tidak cukup hanya mengandalkan pengangkutan sampah ke TPA, tetapi harus mulai mengurangi sampah dari sumbernya melalui pemilahan, pengolahan mandiri, dan pemanfaatan kembali material yang masih bernilai.

Potret Sistem Pengelolaan Sampah Kabupaten Bandung

Ketergantungan Kabupaten Bandung terhadap TPA Sarimukti, belum diiringi dengan peningkatan kesadaran masyarakat untuk memilah sampah dari sumber.

Masyarakat belum sepenuhnya memiliki kebiasaan untuk memilah sampah sejak dari rumah. Hal ini berdampak pada kurang optimalnya peran kelembagaan lingkungan seperti bank sampah maupun pengurus kebersihan di tingkat RT/RW. Selain itu, keterbatasan dana turut menjadi kendala dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung, seperti tempat sampah terpilah, komposter, serta armada pengangkut sampah yang memadai.

Pemerintah daerah sebenarnya telah mengeluarkan regulasi mengenai pemilahan sampah dari sumber, namun lemahnya implementasi di lapangan serta kurangnya pengawasan membuat efektivitas kebijakan tersebut belum dirasakan secara optimal.

Tantangan yang dihadapi Kabupaten Bandung dalam pengelolaan sampah mencakup lima aspek utama, yaitu aspek teknis, kelembagaan, pendanaan, partisipasi masyarakat, serta regulasi dan kebijakan yang belum berjalan secara sinergis.

 

BACA JUGA:Ikatan Motor Honda Karawang (IMHK) Rayakan HUT ke-16 Penuh Kebersamaan

BACA JUGA:Jaga Rem Motor Tetap Optimal, Begini Caranya

 

ISWMP dan PPAM: Menjawab Tantangan dengan Kolaborasi

Pengelolaan sampah bukan lagi sekadar urusan teknis atau infrastruktur. Melalui program Improvement of Solid Waste Management to Support Regional and Metropolitan Cities Project (ISWMP), pemerintah pusat—bekerja sama dengan Bank Dunia—mendorong reformasi menyeluruh dalam sistem persampahan daerah. Tujuannya jelas: menciptakan tata kelola sampah yang lebih terintegrasi, partisipatif, dan berkelanjutan.

Salah satu pendekatan utama dari program ini adalah Peningkatan Peran Aktif Masyarakat (PPAM). Alih-alih hanya mengandalkan solusi top-down, PPAM memulai perubahan dari lingkungan terkecil—dengan membangun kesadaran, membentuk sistem lokal, dan melibatkan warga untuk memilah sampah langsung dari rumah.

Untuk memperkuat sistem ini, Pemerintah Daerah, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Ditjen Bina Bangda) turut berperan aktif dalam berkolaborasi. Dukungan diberikan dalam bentuk penguatan regulasi daerah, penyusunan perencanaan yang adaptif, hingga pembinaan kelembagaan lokal agar program ini bisa bertahan dan berkembang di luar masa pendampingan. Melalui sinergi ini, kelima aspek pengelolaan sampah ditangani secara terpadu:

      Teknis: Penerapan sistem pilah dari rumah, pengelolaan sampah organik menggunakan LCO dan komposter, serta penjualan sampah anorganik ke pengepul lokal.

      Kelembagaan: Pembentukan tim pengelola berbasis RT yang dikelola oleh Karang Taruna Burujul 002.

      Pendanaan: Dorongan pada swadaya masyarakat dan pemanfaatan hasil penjualan sampah sebagai sumber dana operasional komunitas.

      Partisipasi: Sosialisasi berjenjang, pelatihan teknis, serta pemasangan stiker rumah sebagai penanda partisipasi warga.

      Regulasi dan sinergi: Pendampingan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Puskesmas, dan aparatur desa serta penguatan komitmen antar-OPD dan pemerintah daerah.

Menurut Oki Suyatno, Kepala Bidang Persampahan DLH Kabupaten Bandung, pendekatan ISWMP yang menekankan pada sosialisasi, edukasi, dan pendampingan langsung ke masyarakat telah memberikan dampak positif.

“ISWMP (PPAM) hadir untuk mengubah perilaku masyarakat terkait sampah, dengan membawa konsep edukasi dan pendampingan langsung. Ini sangat membantu dalam membentuk pola pikir baru berbasis 3R – Reduce, Reuse, Recycle. Kita ingin menggeser budaya lama kumpul-angkut-buang menjadi pengelolaan yang lebih terencana dan berdampak,” ujarnya.

Perubahan ini tidak instan. Oki menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pilot project pilah sampah dari sumber, terdapat tahapan transisi perilaku yang harus dilalui: dari mencoba, melaksanakan, menjaga konsistensi, hingga mampu mengajak masyarakat lain ikut serta.

Lebih dari sekadar perubahan gaya hidup, pendekatan ini juga membawa dampak nyata secara ekonomi dan operasional.

“Harapan kami, setelah sampah berhasil dipilah dari sumbernya, masyarakat akan merasakan manfaat langsung. Di sisi lain, kami sebagai pemerintah daerah juga dapat menekan biaya operasional dalam pengelolaan sampah,” tambah Oki.

Langkah-langkah ini merupakan bagian dari transformasi menyeluruh yang diusung ISWMP. Dengan kolaborasi lintas sektor dan dukungan masyarakat, Kabupaten Bandung menapaki jalur menuju pengelolaan sampah yang tidak hanya efisien, tetapi juga lebih manusiawi dan berkelanjutan.

 

Cerita dari Lapangan: RT 02 RW 17 Desa Mekar Rahayu Menata Ulang Relasi Warga dan Sampah

 

Di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Marga Asih, Kabupaten Bandung, perubahan besar tengah dimulai dari lingkungan kecil. Sejak Desember 2024, Program ISWMP melalui kegiatan Peningkatan Peran Aktif Masyarakat (PPAM) menggulirkan pilot project pengelolaan sampah di RT 02 RW 17—sebuah lingkungan padat dengan 98 Kepala Keluarga (KK).

Dengan fasilitas sederhana—ember bekas cat untuk menampung sampah organik dan karung bekas untuk sampah anorganik—warga perlahan mulai dikenalkan pada konsep pilah sampah dari rumah. Karang Taruna menjadi ujung tombak penggerak kegiatan ini: menimbang, mencatat hasil pilahan, dan mendistribusikan sampah anorganik ke pengepul. Hasil penjualan sampah pun dialokasikan untuk mendukung kegiatan komunitas lokal.

Hingga Januari 2025, 37 KK telah aktif memilah sampah secara rutin. Angka ini menjadi indikator awal bahwa perubahan perilaku mulai terbentuk. Warga yang sebelumnya pasif dan sepenuhnya bergantung pada jadwal pengangkutan dari luar, kini mulai mandiri mengelola sampahnya sendiri. Kesadaran akan nilai ekonomi dari sampah anorganik pun mulai tumbuh.

Kunci dari keberhasilan ini bukan hanya pada sarana, tetapi pada kolaborasi antar elemen masyarakat. Kader kesehatan dan posyandu setempat turut berperan dalam menyuarakan pentingnya kebersihan lingkungan, bahkan sistem insentif pun mulai diterapkan dalam kegiatan posyandu—mengaitkan kesehatan ibu dan anak dengan kontribusi pemilahan sampah.

Cerita dari RT 02 RW 17 ini menjadi bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari skala terkecil, asalkan ada komitmen, partisipasi, dan semangat gotong royong. Jika pola ini dapat direplikasi ke desa-desa lain, beban TPA dapat ditekan, dan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan bisa benar-benar menjadi milik semua.

Harapan untuk Keberlanjutan dan Replikasi

Walau masih berada pada tahap awal, masyarakat Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, telah membuktikan bahwa perubahan nyata bisa dimulai dari skala komunitas kecil. Program ini membuka jalan menuju sistem pengelolaan sampah yang murah, mudah, dan berkelanjutan—tanpa harus bergantung penuh pada infrastruktur besar atau teknologi mahal.

Upaya replikasi kini mulai dirancang untuk menjangkau RW lain melalui kombinasi edukasi tatap muka, kampanye media sosial, dan pencanangan gerakan “Warga Memilah Sampah” oleh pemerintah daerah. Anak muda, khususnya Karang Taruna, menjadi motor penggerak utama: mengajak tetangga, menimbang hasil pilahan, dan mengelola penjualan sampah anorganik untuk membiayai kegiatan komunitas.

Dukungan pemerintah desa dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung turut memperkuat langkah ini dengan menyediakan sarana pemilahan, mendorong pembentukan peraturan desa, serta menjadikan Mekar Rahayu sebagai contoh praktik baik (best practice) bagi wilayah lain di Bandung Raya.

Kisah Mekar Rahayu menunjukkan bahwa pengelolaan sampah bukan hanya soal teknologi, melainkan soal kemauan untuk berubah, rasa memiliki, dan semangat gotong royong. Jika semangat ini terus diperluas dan direplikasi, mimpi menuju Bandung Raya yang “Merdeka dari Sampah” bukan lagi sekadar wacana, tetapi target yang dapat diwujudkan bersama.

Sumber: