Dukung UMKM & Ekonomi Digital, APINDO Tekankan Pentingnya Fleksibilitas Regulasi Global

 Dukung UMKM & Ekonomi Digital, APINDO Tekankan Pentingnya Fleksibilitas Regulasi Global

Perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dalam International Labour Conference (ILC) ke-113 yang diselenggarakan oleh International Labour Organization (ILO) di Jenewa, Swiss pada 2-13 Juni 2025.--

RADAR JABAR - Dalam Konferensi Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Conference/ILC) ke-113 yang berlangsung di Palais des Nations, Jenewa, Swiss, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menekankan pentingnya kebijakan ketenagakerjaan global yang bersifat fleksibel, kontekstual, dan mampu mendukung pertumbuhan ekosistem ekonomi digital serta keberlangsungan UMKM. APINDO hadir sebagai bagian dari delegasi tripartit Indonesia bersama perwakilan pemerintah dan serikat pekerja.

Tahun ini, Komite Penetapan Standar ILO memulai pembahasan awal tentang isu strategis “Pekerjaan Layak dalam Ekonomi Berbasis Platform.” Para delegasi tripartit sepakat bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dan keberlanjutan ekosistem platform perlu diseimbangkan secara hati-hati. Oleh karena itu, dirumuskan pendekatan prinsipil yang memungkinkan instrumen akhir memiliki fleksibilitas dan relevansi sesuai kondisi masing-masing negara.

Komite membutuhkan waktu dua hari penuh untuk menentukan jenis instrumen yang akan dirancang. Sebagian besar negara Eropa, Amerika Latin, dan Afrika memilih Konvensi sebagai instrumen mengikat yang sesuai dengan struktur ketenagakerjaan mereka.

Sebaliknya, negara-negara dengan populasi pekerja platform terbesar seperti Tiongkok, Amerika Serikat, India, Jepang, dan Swiss mengusulkan format Rekomendasi yang lebih lentur, mengingat karakter pekerja platform yang umumnya berusaha secara mandiri serta pentingnya mempertahankan keseimbangan agar tidak mengganggu keberlangsungan UMKM dalam lanskap ekonomi digital.

 

BACA JUGA:Pelantikan dan Pengukuhan DPK Apindo Kota Cirebon, Enggartiasto: Pengusaha Jangan Ragu Berinvestasi

 

Pembahasan Masih Awal: Baru 15% Terbahas, Kompleksitas Tinggi

Walau akhirnya diputuskan bahwa instrumen akan berbentuk Konvensi, substansi yang telah dibahas baru mencapai sekitar 15%, mencerminkan kompleksitas isu ini. Kebutuhan untuk menghindari regulasi yang menghambat pertumbuhan ekonomi digital serta pentingnya penghormatan terhadap sistem hukum dan ketenagakerjaan domestik menjadi perhatian utama.

Selama dua pekan pembahasan, telah disepakati bahwa definisi pekerja platform mencakup mereka yang bekerja dalam hubungan kerja, yang berusaha sendiri, serta kategori lain yang sesuai dengan kerangka hukum nasional masing-masing. Tidak ada pendekatan tunggal yang mengharuskan seluruh pekerja platform digolongkan sebagai karyawan tetap. Instrumen yang sedang dirumuskan juga wajib menghargai sistem hukum ketenagakerjaan dan hukum usaha yang berlaku di setiap negara.

Ruang lingkup platform yang dibahas mencakup model berbasis lokasi seperti transportasi dan jasa pengiriman, hingga platform online yang mencakup layanan kesehatan digital, edutech, pariwisata, freelance, dan pekerjaan kreatif lainnya.

Perspektif Dunia Usaha Internasional

Dalam sidang pleno, Juru Bicara Kelompok Pengusaha Internasional asal Amerika Serikat, Ms. Ewa Staworzynska, menyoroti beberapa poin kunci dalam rancangan awal instrumen. Ia menegaskan bahwa regulasi perlu menghormati keberagaman bentuk status hukum tenaga kerja, dan tidak menyamaratakan hak dan kewajiban antara pekerja tetap dan pekerja mandiri. Selain itu, standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) harus disesuaikan dengan fleksibilitas para pekerja platform yang seringkali bekerja pada beberapa layanan secara bersamaan.

Ms. Ewa juga menggarisbawahi pentingnya sistem jaminan sosial yang dapat diakses oleh seluruh tenaga kerja melalui skema yang sesuai dengan status kerja masing-masing. Terakhir, regulasi tidak boleh menghambat pertumbuhan inovasi dalam ekosistem platform digital, termasuk dengan pembatasan algoritma yang terlalu ketat, yang dapat berdampak pada keberlangsungan UMKM.

“Diskusi tahun pertama ini menegaskan bahwa dialog sosial sangat krusial. ILO sebaiknya tetap menjadi forum referensi global, bukan arena legislasi yang memberlakukan agenda satu wilayah ke wilayah lain,” ujarnya.

APINDO sepenuhnya mendukung prinsip-prinsip tersebut dan berkomitmen untuk memperjuangkan instrumen global yang inklusif, kontekstual, serta mampu menciptakan ruang pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor digital, tanpa membebani pelaku usaha.

Suara dari Indonesia

Dalam forum pleno ILC ke-113, Bob Azam—Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO sekaligus perwakilan delegasi pengusaha Indonesia—menyampaikan bahwa kondisi global saat ini penuh tantangan. Ketidakpastian perdagangan internasional, tekanan nilai tukar, dan meningkatnya biaya produksi memberikan tekanan pada sektor padat karya, bahkan mendorong pengurangan tenaga kerja.

Meski demikian, ekonomi Indonesia masih menunjukkan ketangguhan dengan pertumbuhan 4,87% pada kuartal pertama 2024. Namun, tantangan ketenagakerjaan masih nyata, dengan 7,47 juta penganggur, 11,56 juta setengah menganggur, dan dominasi pekerja informal. Data Badan Pusat Statistik mencatat tingkat pengangguran terbuka berada di angka 4,91%.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menempatkan penciptaan lapangan kerja sebagai prioritas utama, dengan target pertumbuhan ekonomi 8% dan penciptaan 19 juta pekerjaan. Untuk mencapai hal tersebut, kerja sama erat antara pelaku usaha dan tenaga kerja menjadi sangat penting, termasuk dengan memaksimalkan potensi ekonomi digital. Ekonomi digital Indonesia diproyeksikan tumbuh dari US$82 miliar (2023) menjadi US$360 miliar pada tahun 2030, atau sepertiga dari total ekonomi digital di kawasan ASEAN.

“Prinsip ‘decent work’ dalam platform ekonomi harus dirumuskan secara hati-hati agar tidak menghambat fleksibilitas dan inovasi—dua unsur vital dalam menciptakan lapangan kerja di era digital,” ujar Bob.

Ia menutup pernyataannya dengan harapan agar ILO menghasilkan instrumen ketenagakerjaan yang melindungi pekerja tanpa memaksakan model kerja konvensional kepada sektor yang sangat dinamis seperti platform digital.

Tentang APINDO
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) adalah representasi resmi dunia usaha nasional yang berdiri sejak 31 Januari 1952. Berbasis di Jakarta, APINDO memiliki struktur organisasi hingga tingkat provinsi dan kota/kabupaten di seluruh Indonesia.

Awalnya berfokus pada isu ketenagakerjaan dan hubungan industrial, APINDO kini memiliki peran yang semakin strategis dalam pengembangan sumber daya manusia, advokasi kebijakan ekonomi nasional, serta kolaborasi lintas sektor. Melalui unit seperti APINDO International Strategic Partnership Center (ISPC) dan APINDO Training Center (ATC), APINDO aktif membangun jejaring dan memperkuat kapasitas dunia usaha.

Dalam skala internasional, APINDO berperan aktif melalui keanggotaan di IOE, ACE, dan CAPE, serta berkontribusi dalam kelembagaan tripartit nasional seperti Dewan Pengupahan dan Dewan K3.

Empat program unggulan APINDO 2023–2028 mencakup: Roadmap Ekonomi Nasional, UMKM Merdeka, KIPAS (Kolaborasi Inklusif Pengusaha Atasi Stunting), dan Sertifikasi HR-IR. Semua program tersebut ditujukan untuk memperkuat kontribusi pengusaha terhadap pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi: www.apindo.or.id

Sumber: