Itikad Baik Jangan Dipolitisasi: Bonus Hari Raya Adalah Apresiasi, Bukan Hak yang Harus Dipaksakan

Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia atau Modantara menyampaikan apresiasi terhadap perhatian yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia--(Sumber Gambar: ILUSTRASI/ Pixabay)
RADAR JABAR DISWAY , Jakarta, [17 Maret 2025] – Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia atau Modantara menyampaikan apresiasi terhadap perhatian yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto yang mengimbau perusahaan layanan pengantaran berbasis aplikasi untuk memberi Bonus Hari Raya (BHR) dalam bentuk uang tunai dengan mempertimbangkan keaktifan pekerja dan kemampuan finansial perusahaan yang disampaikan di Istana Negara, Senin (10/3/2025). .
Modantara juga mencermati poin-poin pada Surat Edaran Kemnaker Nomor M/3/HK.04.OANU2A25 tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 bagi Pengemudi dan Kurir pada Layanan Angkutan Berbasis Aplikasi dimana terdapat ketidak-selarasan dengan arahan dari Bapak Presiden dan cenderung tidak menggambarkan pemahaman terhadap kompleksitas industri dan ekosistem, di antaranya:
BHR untuk seluruh Mitra terdaftar resmi Imbauan SE berbeda dengan arahan Presiden bahwa BHR diberikan kepada mitra aktif. Pemberian BHR kepada seluruh mitra terdaftar secara resmi ini tidak mencerminkan keberpihakan kepada mitra yang telah bekerja keras.
Bayangkan apakah adil jika mitra yang baru mendaftar kemarin atau baru menyelesaikan 1-2 order mendapatkan BHR? Apakah adil bagi rekannya yang sudah bekerja lebih lama dan lebih produktif? Padahal sangatlah umum di sektor manapun bonus diberikan berdasarkan kinerja dan pencapaian target, serta tergantung bagaimana kemampuan finansial perusahaan, bukan sekadar telah melakukan pendaftaran.
BACA JUGA:Kepolisian Kerahkan 1.784 Personel Gabungan untuk Amankan Aksi Ojol dan Kurir se-Jabodetabek
BACA JUGA:Kemnaker: Perusahaan Harus Berikan THR untuk Ojol dak Kurir Paket
Perhitungan BHR sebesar 20% dari pendapatan rata-rata bulanan selama 12 bulan terakhir bagi mitra produktif SE tidak mengejawantahkan imbauan Presiden dengan tepat bahwa BHR diberikan dengan melihat kemampuan finansial perusahaan. Persentase 20% ini ditentukan sepihak dan sangat memberatkan bagi sebagian besar platform.
Terutama tanpa kejelasan definisi apa yang dimaksud “pendapatan bersih”, ketentuan ini justru bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian dalam implementasinya. Seharusnya, pemerintah tidak perlu mendikte besaran persentase, melainkan cukup menyerahkan kepada perusahaan sesuai kemampuan finansial mengingat setiap platform memiliki bisnis model dan struktur biaya operasional yang berbeda-beda.
BHR untuk Mitra di luar kategori produktif diberikan secara proporsional sesuai kemampuan perusahaan
Dikarenakan adanya himbauan poin satu dalam SE yang menyatakan BHR diberikan kepada seluruh mitra terdaftar secara resmi, maka himbauan ini memberikan ekspektasi kepada mitra yang sudah lama tidak aktif atau aktif sebentar di berbagai platform namun terdaftar akan tetap memperoleh BHR. Himbauan ini menyuburkan ekspektasi keliru yang mengakibatkan friksi-friksi di lapangan yang tidak perlu karena sejatinya, sesuai arahan Presiden, jika mitra tidak aktif tidak perlu memperoleh BHR.
Kebijakan BHR tidak boleh mengurangi manfaat lain yang diberikan perusahaan yang diamanatkan sesuai peraturan perundang-undangan. Dapat dipahami dari SE ini bahwa sudah terdapat banyak manfaat yang diamanatkan oleh Pemerintah kepada platform kepada mitranya.
Maka sudah sewajarnya himbauan BHR diserahkan sebagai kebijakan perusahaan dengan semangat berbagi. Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) perlu mengevaluasi banyaknya tuntutan manfaat yang dimandatkan Kemnaker agar diberikan oleh platform kepada mitranya, apakah kewajiban tersebut justru mengganggu keseimbangan finansial dan keberlanjutan ekosistem jika terus menerus dipaksakan.
Sumber:
Berita Terkait
5 jam