Tak Seindah di Drama, Fenomena Patriarki dan Misogini di Korea Selatan Kian Mengkhawatirkan
Fenomena patriarki di Korea Selatan-Image/Easasiaforum-
RADAR JABAR - Adegan romantis seringkali bisa kita lihat dalam serial drama Korea Selatan. Ini seolah-olah menekankan bahwa perlakuan yang lembut dan penuh rasa hormat akan diberikan terutama kepada pihak perempuan.
Namun, dalam kenyataannya, situasi perempuan di Korea Selatan sering mengalami perlakuan misoginis dan diskriminatif, yang membuat mereka berada dalam situasi yang rentan.
Bahkan, istilah derogatif seperti "Kimchi-b*tch" sering ditujukan kepada perempuan aktivis atau simpatisan feminis.
Fenomena ini tidak terlepas dari meningkatnya ketegangan gender di Korea Selatan, terutama setelah Pemilihan Presiden pada Maret 2022.
Fenomena Patriarki di Korea Selatan Sejak Yoon Suk-Yeol Terpilih jadi Presiden
Yoon Suk-Yeol, sebagai kandidat presiden dari partai konservatif People Power Party (PPP), berhasil memenangkan Pilpres setelah mengalahkan Lee Jae-Myung, kandidat dari partai petahana Democratic Party, dengan selisih kurang dari satu persen.
Suara kampanye Yoon dan kelompok anti-feminis berhasil memobilisasi suara dari para pria muda Korea Selatan yang tidak mendukung gerakan feminisme dan kesetaraan gender. Pria muda di Korea Selatan umumnya percaya bahwa ada diskriminasi gender secara struktural.
BACA JUGA:Pesan Feminis dalam Film Barbie, Ini yang Ingin Disampaikan
Selama kampanye, Yoon berencana untuk menghapus kuota bagi perempuan di pemerintahan. Kebijakan kuota ini awalnya dicetuskan oleh Moon Jae-In yang menggantikan Park Geun-Hye, presiden perempuan pertama Korea Selatan yang kemudian dipecat karena kasus korupsi.
Selain itu, Yoon juga berjanji untuk membubarkan Kementerian Perempuan di Korea Selatan dan menegaskan sanksi bagi pelapor kekerasan seksual yang dianggap membuat data palsu.
Data menunjukkan bahwa Korea Selatan berada di peringkat 99 dari 146 negara dalam hal kesenjangan gender. Ini tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam hal upah, di mana pekerja perempuan hanya mendapatkan sepertiga dari yang diterima oleh pekerja pria.
Bukan hanya upah, tetapi kesempatan dan perlakuan terhadap perempuan di tempat kerja juga mengkhawatirkan. Menurut data yang dirilis oleh The Economist, Korea Selatan menempati posisi ke-29 dari tahun 2016 hingga 2022.
Sejarah Misoginis di Korea Selatan
Sejarah dan budaya masyarakat Korea Selatan juga berperan dalam membentuk tren misoginis ini. Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Park Sojeong pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa narasi misogini di Korea Selatan dipengaruhi oleh kecenderungan sikap represif pria yang meyakini bahwa mereka memiliki hak yang lebih besar.
Pria di Korea Selatan sering menyalahkan perempuan dan menganggapnya mencemari nilai-nilai dasar, bahkan hingga menimbulkan krisis dalam negara.
Istilah "Hwangyang-Nyon," yang kurang lebih berarti "jalang," muncul sebagai hasil dari persekusi terhadap perempuan di Korea Selatan sejak abad ke-17, meskipun asal usul istilah ini tidak sepenuhnya diketahui.
Sumber: