Tata Kelola Ruang di Kota Bandung Masih Buruk, Kadar Air dan Udara Perlu Jadi Perhatian

Tata Kelola Ruang di Kota Bandung Masih Buruk, Kadar Air dan Udara Perlu Jadi Perhatian

Ilustrasi: Potret pemukiman padat penduduk di Kota Bandung. (Dok/Jabar Ekspres--

RADARJABAR.ID, - Tata kelola Kota Bandung kian hari, kian padat. Tak hanya jumlah penduduk yang bertambah, namun pembangunan pun terus meningkat.

Oleh sebab itu, daya tampung air hingga kualitas udara di Kota Bandung kian berkurang, sebab besarnya kebutuhan manusia yang semakin banyak.

 

 Diketahui, Pemkot Bandung baru-baru ini meresmikan Seke Bakan Teureup di wilayah Kelurahan Pasir Jati, Kecamatan Ujungberung.

 

 Mata air tersebut memiliki luas 1.500 meter persegi yang dibangun di atas lahan 2.200 meter persegi, dengan tujuan fungsi konservasi, ekonomi, juga sebagai ruang publik terbuka.

 

 Wali Kota Bandung, Yana Mulyana memaparkan, Seke Bakan Teureup itu diharapkan menjadi cerminan agar seluruh pihak di wilayahnya sama-sama bijak dalam menata dan mengelola sumber daya air.

 

"Air itu sumber kehidupan. Mudah-mudahan, dengan kita memperlakukan mata air ini dengan baik, Insya Allah lingkungan juga akan memberikan kehidupan kepada kita semua," paparnya pada Selasa (11/4).

 

 "Selain fungsi lingkungan, Seke Bakan Teureup juga memiliki fungsi untuk ruang publik terbuka," tutup Yana.

 

 Sementara itu, Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Bandung, Didi Ruswandi menambahkan, ada sekitar dari 280 tanaman pelindung yang ditanam di Seke Bakan Teureup.

 

 "Diperdiksi dalam 5 tahun, tanaman pelindung ini sudah rimbun dan bisa menyerap air," tukas Didi.

 

 Menanggapi hal tersebur, Pegiat Lingkungan sekaligus Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Dedi Kurniawan mengatakan, guna menstabilkan kebutuhan air dan udara di satu wilayah, perlu disesuaikan ruang terbuka pendukungnya.

 

 "Agar tidak berdampak domino. Karena idealnya kota yang nyaman itu tidak banjir, udaranya sehat, sejuk tidak panas kemudian kebutuhan air tercukupi," kata Dedi kepada Jabar Ekspres melalui seluler.

 

 Disamping itu, keberadaan situ, seke atau mata air perlu jadi perhatian. Selain untuk menjaga kadar air tanah, fungsinya bisa menjadi daya tampung air hujan.

"Makanya lihat dulu sejarah, di beberapa daerah Kota Bandung ada namanya Sekejati, Sekelimus atau Situaksan. Itu karena dulunya ada seke atau situ atau mata air di sana," ucap Dedi.

 

"Fungsinya untuk menutupi area penampungan air sekaligus menjaga kadar air tanah di kawasan tersebut," lanjutnya.

 

 Akan tetapi, karena wilayah-wilayah yang dulunya disebut sempat ada seke atau situ beralih fungsi oleh pembangunan, maka Pemkot Bandung berupaya membuat mata air baru guna meminimalisir dampak lingkungan.

 

"Dibuat situ-situ baru dengan berbagai penamaan, karena pemerintah menyadari bahwa mereka salah dalam konteks penataan tata kelola ruang," imbuhnya.

 

 Dedi menerangkan, perlunya pengkajian baik dalam tata kelola RTH maupun pembuatan situ, sebab fungsi mata air di satu wilayah belum tentu sama dengan wilayah yang lain.

 

 "Harus melihat titik situ ini secara komperhensif, dalam konteks fungsi menyerap air dan sebagainya. Tapi jika fungsi lama ditutup lalu buat fungsi baru, itu belum tentu berfungsi," terangnya.

 

 Dedi menyampaikan, keberadaan situ atau seke tidak bisa dipukul rata, secara logika apabila satu wilayah terdapat mata air kemudian dialihkan ke daerah lain mata airnya, belum tentu memberikan efek yang sama.

 

 Oleh sebab itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung tidak bisa parsial dalam membuat seke di kewilayahan.

 

"Bukan tidak mendukung adanya seke baru, tapi konteksnya kebijakan pemerintah yang salah itu mengakibatkan kerusakan lingkungan, kemudian dialihkanlah fungsi ruang ke tempat lain untuk meminimalisir kerusakan tersebut," tutur Dedi.

 

 "Itulah bentuk kegagalan Pemkot Bandung dalam tata kelola ruang pembangunan. Saking merasa bersalahnya mereka membuat sistem-sistem seke baru," lanjutnya.

 

 Dedi menilai, penyesuaian tersebut harus dikaji secara komperhensif, supaya keberadaan tata ruang tak sebatas menunjang aktivitas masyarakat, tapi juga mendukung keberlangsungan ekologis.

 

 Karenanya, pemenuhan syarat untuk kebutuhan udara yang sehat di wilayah kota/kabupaten, selain mampu memberikan penampungan air sesuai juga harus bisa memprioritaskan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

"Konteks RTH untuk kabupaten/kota dilihat dari bagaimana situasi kawasan, untuk memberikan keseimbangan," ujar Dedi.

"Contoh 30 persen RTH wajib di wilayah perkotaan, tapi di area penduduknya belum padat seperti Kalimantan untuk kota/kabupaten tidak mungkin 30 persen RTH, pasti lebih," lanjutnya.

Diketahui, pemanfaatan RTH sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, tertuang bahwa sekitar 30 persen kawasan di perkotaan harus memiliki RTH dengan komposisi sebanyak 20 persen digunakan di ruang publik dan sisanya 10 persen untuk privat.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, luas ruang terbuka pada 2021 mencapai 2.048,97 hektare alias baru mencapai 12,25 persen.

Persentase statistik tersebut, dihitung dari sejumlah lahan serta potensi, di antaranya seperti taman kota, kebun bibit, ruang pemakaman, jalur hijau, hutan konservasi hingga potensi ruang terbuka lainnya.

Sedangkan, mengutip dari laman rth.bandung.go.id, Kota Bandung saat ini memiliki ruang terbuka hijau dengan total luas sekiranya 1.700 hektare.

Idealnya, untuk kota dengan luas 16.729,65 hektare, Bandung harusnya mempunyai RTH sekira 6.000 hektare.

Dedi menilai, keberadaan RTH yakni untuk memberikan keseimbangan terhadap lingkungan, juga dapat menjadi pendukung dalam keberlangsungan kehidupan serta menjaga kadar air tanah.

"Jadi menurut kami ruang terbuka di Kota Bandung sangat kurang. Perlu ditingkatkan dengan cara bagaimana pemerintah mampu membeli titik-titik yang memungkinkan dijadikan sebagai RTH,” pungkasnya.

Sumber: