Warga Prasejahtera Kota Bandung Kesulitan Bansos
Illah (50) tinggal di rumah 3x3 bersama dua anaknya, tanpa kamar mandi dan berada di bawah garis kemiskinan. -(Foto: Arvi/Jabar Ekspres)-
“Rumah ini cuma cukup buat tidur sama masak aja. Tadi di sini tempat tidur, sebelahnya kompor. Kamar mandinya emang sudah disiapin yang punya kontrakan tapi atap terbuka gitu, jadi emang kadang suka numpang ke sodara aja kalau mandi mah,” unkap Illah.
Dia berharap, pemerintah menyediakan rumah tanpa DP agar dirinya beserta anak-anaknya bisa menyicil. Bansos, kata dia, tidak rutin diberikan, dilakukan sistem rapel.
“Dulu ‘kan tiap bulan, sekarang mah seringnya empat bulan, kalau saya mah mending per bulan aja biar tinggal ditambah sedikit aja kalau kurang. Lebih banyak ‘kan emang bantuan sembako yang lebih banyak, kalau diuangkan juga 200 ribu per bulan, sama nilainya kaya sembako,” harap Illah.
Masih di tempat yang sama, Ooh Lestari (64), mengatakan dirinya tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Warung miliknya menjadi sumber penghidupan keluarganya, sang suami yang berumur 73 tahun terkadang bekerja serabutan. Sedangkan satu dari delapan anaknya masih tinggal di rumah dengan kondisi tunanetra.
“Jualan sekarang lagi sepi, modalnya lagi sedikit dipakai makan, bapak enggak kerja. jadi dari sini (warung) aja kalau ada. Ibu aja mau bayar listrik sampai mau nangis, ke mana nyari uang? Cuma pinjem segitu saja tapi susah. Jadi saya jual baju dua stel buat bayar listrik,” keluhnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Sekarang dapat Rp50 ribu aja susah, sepi yang beli. Pengeluaran sehari kadang 30-40 ribu buat makan. Kalau enggak ada sama sekali paling mi aja yang dimasak, yang dijual sering dipakai juga, habis mau gimana lagi,” tutur Oo.
Dalam kesehariannya, dia mengandalkan jasa mencuci, meski memiliki pelanggan yang terbilang jauh dari tempat tinggalnya. Sedangkan suaminya, terkadang bekerja seminggu penuh sebagai kuli bangunan dalam usia rentanya.
“Saya enggak dapat bansos. Itu sakitnya. Kenapa orang yang rumahnya besar, ada mobil, segala punya, motor dua dapet beras dan segala macem. Model (orang enggak punya) seperti nenek enggak ada, dari dulu enggak pernah dapet,” keluh Oo.
Untuk makan pun, Oo seringkali mengandalkan pasokan dari warungnya sendiri. Karena penghasilan miliknya habis dibayarkan oleh hutang. Dengan pengeluaran per hari Rp30 sampai 40 ribu, Oo beserta keluarga mengandalkan bahan makanan seadanya.
“Mau minta ke anak, malu. Ni kalau dikumpulin ke mana dulu, ah paling ke beras aja. Ke mi paling. Paling gede penghasilan warung dapet Rp60 ribu sampai malem (jualan) dari jam lima subuh,” katanya.
Oo berharap pemerintah memberikan bantuan sosial secara rutin, serta lebih mengutamakan warga yang benar-benar membutuhkan. Bahkan sampai saat ini, warga miskin seringkali kesulitan untuk terdaftar dalam DTKS Dinas Sosial.*** (Arv)
Sumber: Jabar Ekspres