AI dan Masa Depan Belajar Siswa Indonesia

AI dan Masa Depan Belajar Siswa Indonesia

--

RADAR JABAR - Dulu, ketika siswa kesulitan memahami pelajaran, mereka bertanya kepada guru, mencari di buku, atau ikut bimbingan belajar. Kini, siswa cukup membuka ponsel dan bertanya ke ChatGPT. Dalam hitungan detik, jawaban muncul lengkap dengan penjelasan. Tapi apakah ini membantu mereka benar-benar belajar? Atau justru membuat mereka malas berpikir?

Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) telah membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan. Di berbagai negara, AI tidak lagi dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai alat bantu belajar yang canggih—bahkan personal. AI bisa menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan setiap siswa, memberikan umpan balik secara instan, dan mendorong mereka menjadi pembelajar yang lebih percaya diri.

Sebuah studi dari Frontiers in Psychology menunjukkan bahwa penggunaan AI, seperti ChatGPT, secara nyata meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Tidak hanya itu, menurut Hwang dan Wu (2025), AI juga berdampak positif pada kepercayaan diri mereka, sekaligus mengurangi kecemasan dalam proses belajar. Efek ini paling terasa ketika siswa merasa AI bukan sekadar mesin penjawab soal, tapi teman belajar yang bisa diajak berdiskusi.

Namun, konteks Indonesia berbeda. Di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, penggunaan AI masih menjadi wilayah abu-abu. Banyak guru belum dilatih untuk memanfaatkan teknologi ini secara optimal. Sementara itu, siswa menggunakannya diam-diam—kadang untuk benar-benar belajar, tapi sering juga sekadar mencari jalan pintas menyelesaikan tugas.

Di sinilah masalah bermula. Tanpa pendampingan, AI bisa menumbuhkan ketergantungan. Siswa bisa kehilangan kesempatan untuk berpikir kritis. Padahal, menurut Dr. Mar Pérez-Sanagustín dalam pidatonya di IFS Virtual Keynote (2024), AI seharusnya menjadi sarana untuk mengembangkan Hybrid Learning Capabilities—kemampuan gabungan antara literasi AI dan regulasi diri dalam belajar.

Pendekatan alternatif ditunjukkan dalam forum DW Global Media Forum 2025 oleh Sally Hammoud, pakar komunikasi strategis dan AI. Dalam sesi bertajuk "Between Efficiency and Ethics: AI in Journalism", Sally menyampaikan ide yang mengejutkan: izinkan siswa menggunakan ChatGPT, tapi wajibkan mereka berdebat dengannya di kelas.

“Kalau mereka pakai ChatGPT, saya minta mereka mempertanyakan jawabannya. Boleh setuju, boleh tidak. Tapi harus bisa membuktikan alasan mereka,” kata Sally. Ini bukan sekadar latihan akademis, tapi bagian dari etika baru dalam pendidikan. AI tidak ditolak, juga tidak diterima mentah-mentah. AI diajak berpikir — dan dilawan secara intelektual.

Dengan cara ini, mahasiswa diajak memahami bagaimana AI menghasilkan pengetahuan, mengenali potensi bias, serta belajar membedakan mana argumen valid dan mana sekadar jargon yang mengesankan. Inilah inti dari literasi AI masa kini — bukan hanya tahu cara pakai, tapi tahu kapan harus tidak menggunakannya.

Dalam konteks pendidikan Indonesia, pendekatan ini terasa relevan. Siswa kita sudah akrab dengan AI, tapi belum semuanya mampu bersikap kritis terhadapnya. Padahal, di dunia yang serba otomatis ini, pendidikan tak lagi bisa hanya mengandalkan hafalan. Pendidikan perlu melatih kontra-narasi — kemampuan membentuk opini sendiri dan menguji kebenaran, termasuk kebenaran dari mesin.

Jika digunakan dengan pendekatan yang tepat, AI justru bisa membantu pemerataan pendidikan di Indonesia. Di sekolah-sekolah di daerah 3T, AI bisa menjadi guru tambahan yang tak mengenal lelah. Di kelas-kelas dengan murid ratusan, AI bisa membantu memberi umpan balik personal. Tapi untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang jelas, pelatihan guru yang memadai, dan prinsip etika yang kokoh.

Pendidikan yang baik bukanlah yang mempersiapkan siswa menghadapi masa lalu, melainkan yang mempersiapkan mereka menghadapi masa depan—termasuk masa depan yang dibentuk bersama oleh manusia dan mesin. Dengan mengizinkan ChatGPT, tapi mewajibkan debat dengannya, kita tidak sedang menyerah pada teknologi. Kita justru sedang menundukkannya—lewat pikiran, lewat pertanyaan, dan lewat keberanian untuk berbeda pendapat.

Sumber: Artikel ini merujuk pada riset Hwang & Wu (2025), presentasi IFS Virtual Keynote oleh Dr. Mar Pérez-Sanagustín (2024), dan forum DW Global Media Forum (2025).

 

Penulis adalah dosen tetap di Program Studi Teknik Informatika, Jurusan Teknik Informatika dan Komputer, Politeknik Negeri Jakarta.

Sumber: