X Twitter vs Tiktok Sebagai Platform SDM Rendah dan SDM Unggul
X Twitter vs Tiktok-RJ-
Twitter disebut sebagai platform sarang SDM unggul karena sering digunakan oleh politisi, jurnalis, akademisi, dan profesional untuk berdiskusi tentang isu-isu kompleks, seperti politik, ekonomi, sains, dan berbagai topik lainnya.
Berdasarkan data dari GoodStats, Twitter merupakan media sosial dengan proporsi pengguna berpendidikan tinggi (seperti magister dan doktor) terbesar, diikuti oleh YouTube, Instagram, dan Facebook. Sementara itu, TikTok menempati posisi paling rendah. Hal ini memperkuat persepsi bahwa Twitter adalah "tempatnya orang-orang pintar."
Konsep Habermas’ Public Sphere, yang menggambarkan ruang sosial untuk diskusi bebas dan pembentukan opini publik yang rasional dan bernilai positif, sangat relevan dengan ekosistem Twitter. Platform ini dianggap sebagai ruang publik digital di mana wacana rasional dan informasi akurat lebih sering terjadi, sekaligus menekan penyebaran hoaks.
Namun, di balik kesan positif tersebut, Twitter juga memiliki sisi negatif. Platform ini kerap menjadi ajang perdebatan tidak sehat, ejekan, miskonsepsi informasi, hingga jual beli konten pornografi dan prostitusi online. Diskusi di Twitter juga sering kehilangan kedalaman karena kecenderungan pengguna menyampaikan opini secara impulsif.
Meski demikian, karena mayoritas penggunanya adalah individu yang berpendidikan tinggi dan memiliki akses terhadap informasi terkini, Twitter tetap diasosiasikan sebagai platform yang mendukung kecerdasan.
Cara Tiktok dan X Twitter Manarik Perhatian Pengguna
Perbedaan mendasar antara TikTok dan Twitter sering dikaitkan dengan attention span. Attention span adalah rentang waktu seseorang dapat fokus pada suatu hal sebelum teralihkan. Penelitian oleh Microsoft menunjukkan bahwa rata-rata perhatian manusia menurun dari 12 detik pada tahun 2000 menjadi 8 detik pada tahun 2015, bahkan lebih rendah dibandingkan ikan koki yang memiliki attention span 9 detik.
TikTok memanfaatkan fenomena ini dengan menyajikan konten yang langsung menarik perhatian dalam beberapa detik pertama. Sebaliknya, X (Twitter) menuntut attention span yang lebih panjang, terutama saat membaca utas panjang atau diskusi yang membutuhkan konteks mendalam.
Perbedaan ini memengaruhi cara pengguna memproses informasi, TikTok mengarah pada konsumsi informasi singkat yang cenderung dangkal, sedangkan X mendorong pemrosesan informasi yang lebih mendalam dan serius.
Selain itu, perbedaan lainnya terletak pada cara algoritma kedua platform bekerja. TikTok menggunakan algoritma berbasis rekomendasi yang sangat personal dan emosional. Konten viral di TikTok sering didorong oleh respons emosional, seperti tawa, kejutan, rasa kagum, atau emosi lainnya. Sebaliknya, Twitter mengutamakan kronologi dan diskusi yang berpusat pada tren atau topik tertentu, sehingga lebih cocok untuk debat dan berbagi opini.
Algoritma kedua platform ini tidak sepenuhnya netral. Mereka mencerminkan preferensi dan perilaku pengguna. TikTok dirancang untuk kesenangan instan, sementara Twitter dirancang untuk keterlibatan intelektual dan diskusi yang lebih serius. Namun, ini tidak berarti satu platform lebih cerdas daripada yang lain—keduanya hanya memenuhi kebutuhan yang berbeda.
Sayangnya, mayoritas pengguna media sosial sangat memengaruhi sistem kerja algoritma tersebut. Akibatnya, satu platform sering kali dianggap lebih buruk dibandingkan platform lainnya, meskipun perbedaan ini lebih berkaitan dengan tujuan dan fungsi masing-masing.
BACA JUGA:Jangan Terlalu Lama Scrolling! Ini Rahasia Jahat Algoritma Tiktok Merusak Fokus Kita
BACA JUGA:5 Situs Paling Banyak Dikunjungi di Dunia, Ada TikTok?
Label "SDM rendah" atau "orang kurang pintar" sering kali lebih mencerminkan bias daripada kenyataan. TikTok memang didominasi oleh konten hiburan dan pengguna yang terkesan konyol. Namun, hal ini tidak mengurangi apresiasi terhadap kreator TikTok yang menyajikan konten edukatif secara kreatif. Misalnya, banyak kreator yang membahas isu serius seperti kesehatan, literasi keuangan, atau pendidikan sains dalam format yang ringan dan mudah dipahami.
Sebaliknya, meskipun Twitter sering dianggap sebagai ruang intelektual, platform ini juga dipenuhi oleh akun pseudo-intelektual, hoaks, bahkan prostitusi daring. Tidak jarang terjadi penggiringan opini dan pernyataan ngawur di Twitter. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan pengguna tidak semata-mata ditentukan oleh pilihan platform, melainkan oleh cara mereka menggunakan platform tersebut.
Sumber: