X Twitter vs Tiktok Sebagai Platform SDM Rendah dan SDM Unggul

X Twitter vs Tiktok Sebagai Platform SDM Rendah dan SDM Unggul

X Twitter vs Tiktok-RJ-

RADAR JABAR - TikTok sering disebut sebagai "kandangnya SDM rendah," sementara Twitter dianggap sebagai tempat berkumpulnya orang-orang pintar. Mengapa muncul persepsi seperti ini? Belakangan, kedua platform ini—TikTok dan Twitter (atau sekarang dikenal sebagai X)—menjadi semacam "musuh bebuyutan."

Keduanya sering dibandingkan secara kontras, terutama terkait tingkat kecerdasan para penggunanya. TikTok kerap dilabeli sebagai platform untuk pengguna dengan SDM rendah, sedangkan Twitter digambarkan sebagai sarang orang-orang cerdas. Apakah stereotip ini memiliki dasar yang valid? Mari kita bahas.

Sisi Lain TikTok

TikTok adalah platform berbasis video pendek yang didominasi oleh konten hiburan, tren viral, hingga curahan perasaan. Format video TikTok dirancang untuk menyajikan konten dalam waktu singkat, didukung algoritma yang sangat efektif dalam menyesuaikan konten dengan preferensi pengguna.

TikTok sangat sukses dalam memenuhi kebutuhan akan hiburan, pelarian dari realitas, afirmasi pola pikir, hingga pencarian role model yang sesuai dengan preferensi personal.

Namun, sayangnya, TikTok sering kali tidak memfilter mana konten yang baik dan mana yang buruk. Kontennya kerap kali hanya bertujuan untuk memenuhi ego semata, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.

Karakteristik ini memunculkan persepsi bahwa TikTok adalah platform yang dangkal, karena lebih fokus pada hiburan singkat ketimbang diskusi intelektual atau eksplorasi isu sosial yang mendalam.

BACA JUGA:Fenomena Pengemis Online di TikTok, Pahami 3 Bahayanya untuk SDM Negara

BACA JUGA:Tiktok Berhasil Mengubah Industri Musik Dunia, Banyak Lagu Lama Kembali Viral

Banyak konten di TikTok menggunakan pendekatan emosional, sering kali bahkan berupa hoaks atau narasi yang menggiring opini. Persepsi negatif ini diperkuat dengan keberadaan diskusi yang tidak sehat, komentar tidak relevan, hingga hal-hal konyol yang sering ditemukan di kolom komentar. Kreator konten TikTok juga banyak yang hanya mengejar engagement, tanpa memedulikan kebenaran atau manfaat dari kontennya.

Ditambah lagi, isu buzzer, fanatisme politik, dan standar hidup yang tidak realistis membuat TikTok semakin dianggap negatif. Bahkan, ada anggapan bahwa terlalu banyak berinteraksi di TikTok dapat "menurunkan IQ" karena kurangnya stimulasi intelektual.

Semua hal ini menciptakan stereotip bahwa pengguna TikTok cenderung malas berpikir, mudah menyebar hoaks, gampang digiring opini, berpola pikir aneh, bahkan mesum. Keseluruhan kesan ini dirangkum dalam dua kata, “SDM rendah”.

Namun, penting untuk dicatat bahwa konten di TikTok sebenarnya sangat beragam. Banyak kreator yang membagikan pengetahuan praktis, tutorial singkat, bahkan analisis isu sosial dalam format yang sederhana dan mudah dipahami.

Sayangnya, jenis-jenis konten bernilai ini sering tenggelam oleh algoritma yang mengutamakan preferensi pengguna. Jika mayoritas pengguna lebih menyukai konten yang kurang bermutu, tentu saja konten positif akan sulit ditemukan.

Sisi Lain X/Twitter

Di sisi lain, Twitter, yang kini dikenal sebagai X, memiliki format yang sama sekali berbeda. Platform ini awalnya dirancang sebagai media berbasis teks dengan batasan 280 karakter per tweet, yang dapat diperpanjang dengan thread. Format ini mendorong pengguna untuk menyampaikan pesan berbasis tulisan, yang sebenarnya menjadi kelemahan bagi sebagian orang yang tidak terbiasa membaca secara seksama.

Sumber: