8 Sisi Gelap Korea Selatan Ini Buat Banyak Orang Kaget
Sisi Gelap Korea Selatan-RJ-
Bahkan, mereka yang bekerja di industri IT dan teknologi dapat memperoleh penghasilan sekitar Rp45 juta hingga Rp57 juta per bulan. Namun, meskipun bergaji tinggi, tekanan kerja yang besar sering kali menyebabkan stres.
Pemerintah Korea Selatan telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini. Meski begitu, orang Korea cenderung loyal kepada perusahaan, bahkan menghabiskan sebagian besar hidup mereka bekerja di satu tempat.
Harapan yang tinggi di tempat kerja juga menambah tekanan, sehingga banyak pekerja merasa tertekan secara mental. Gagal dalam karir sering dianggap sebagai aib, yang membuat banyak orang merasa malu atau terisolasi karena ketidakmampuan mereka memenuhi ekspektasi sosial dan profesional.
3. Keberhasilan Dinilai dari Uang
Di Korea Selatan, keberhasilan seseorang sering diukur berdasarkan pekerjaan, pendidikan, kekayaan, dan status sosial mereka di masyarakat. Gagal mencapai standar sosial ini dapat membuat seseorang merasa malu dan terisolasi, baik di hadapan keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Tekanan untuk mencapai kesuksesan sering kali membuat banyak orang merasa terperangkap dan putus asa.
Tekanan untuk meraih kesuksesan materi dan status sosial sangat besar di Korea Selatan. Sayangnya, tekanan-tekanan ini tidak hanya merusak kesehatan mental, tetapi juga menyebabkan banyak orang memilih untuk mengakhiri hidup mereka.
Korea Selatan diketahui memiliki salah satu tingkat bunuh diri tertinggi di dunia, terutama di kalangan remaja, lansia, dan bahkan selebriti. Tekanan sosial, akademis, serta stres di tempat kerja sering disebut sebagai faktor utama masalah ini.
4. Tingkat Bunuh Diri Tinggi
Bunuh diri merupakan masalah sosial yang serius di Korea Selatan. Meskipun demikian, pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasinya. Upaya yang dilakukan meliputi kampanye kesadaran, perluasan akses ke layanan kesehatan mental, dan penerapan kebijakan untuk mengurangi jam kerja yang berlebihan. Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan sistem deteksi dini bagi individu yang berisiko tinggi melakukan bunuh diri.
Di lokasi-lokasi rawan bunuh diri, seperti jembatan, pemerintah telah memasang teknologi canggih, termasuk sensor gerak dan kamera pengawas untuk mendeteksi perilaku mencurigakan. Telepon darurat yang terhubung langsung dengan layanan konseling juga disediakan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.
5. Rendahnya Tingkat Kebahagiaan
Meskipun masalah kesehatan mental kini semakin diakui, stigma terhadap gangguan mental masih sangat kuat di Korea Selatan. Banyak orang yang ragu atau enggan mencari bantuan profesional karena takut dikucilkan atau dianggap lemah dan tidak kompeten.
Meskipun tingkat pengangguran di Korea Selatan secara historis cenderung rendah, generasi muda sering menghadapi kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap. Banyak perusahaan hanya menawarkan kontrak kerja jangka pendek atau posisi dengan gaji rendah, yang membuat banyak orang merasa tidak aman secara finansial maupun mental.
Selain itu, meskipun gaji bulanan rata-rata pekerja di Korea Selatan tergolong tinggi, biaya hidup di negara ini juga cukup tinggi. Di Seoul, biaya hidup bagi satu orang dewasa diperkirakan mencapai 1,5 juta hingga 3 juta Won (sekitar Rp18 juta hingga Rp36 juta) per bulan, tergantung pada gaya hidup. Sementara di kota lain atau daerah pinggiran, biaya hidup mungkin lebih rendah.
6. Harga Properti Tinggi
Harga properti di Korea Selatan juga terbilang tinggi. Pada tahun 2023, harga rata-rata apartemen di Korea Selatan berkisar antara 200 juta hingga 1,5 miliar Won (sekitar Rp2,4 miliar hingga Rp18 miliar), tergantung lokasi dan ukuran. Harga sewa juga bervariasi tergantung lokasi dan ukuran apartemen. Di Seoul, harga sewa bulanan untuk apartemen satu kamar berkisar antara 300.000 hingga 2 juta Won (sekitar Rp3,6 juta hingga Rp24 juta).
Sistem sewa di Korea Selatan memiliki keunikan dengan adanya sistem "jeonse". Dalam sistem ini, penyewa memberikan uang deposit kepada pemilik properti, biasanya sekitar 50–70% dari harga properti. Setelah masa sewa berakhir, deposit tersebut akan dikembalikan sepenuhnya kepada penyewa. Sistem ini lebih umum digunakan di apartemen atau rumah di area perkotaan.
Di daerah pedesaan, harga properti jauh lebih murah dibandingkan dengan kota-kota besar. Namun, banyak generasi muda enggan pindah ke pedesaan karena keterbatasan akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas lainnya.
BACA JUGA:7 Makanan Paling Populer di Jeju Korea, Apa Aja Sih?
Sumber: