Mengenal Lebih Dekat Islam Kejawen, Ajaran Sesat atau Asimilasi?
![Mengenal Lebih Dekat Islam Kejawen, Ajaran Sesat atau Asimilasi?](https://radarjabar.disway.id/upload/d85797dfbc8110661c9a0a545e179dee.jpg)
Ilustrasi Islam Kejawen-Ist-
Mereka memperkenalkan ajaran Islam sambil tetap menghormati tradisi dan budaya lokal. Wali Songo, kelompok ulama yang terkenal dalam sejarah Islam di Jawa, menggunakan pendekatan budaya seperti wayang, gamelan, dan seni tari untuk menyampaikan ajaran Islam.
Namun, masyarakat Jawa tidak sepenuhnya meninggalkan kepercayaan lama. Banyak orang Jawa yang menerima Islam, tetapi tetap memelihara praktik Kejawen. Inilah yang kemudian melahirkan fenomena yang disebut sebagai Islam Kejawen, yaitu bentuk Islam yang bercampur dengan unsur-unsur tradisional Jawa.
Misalnya, meskipun seseorang mengaku sebagai Muslim, ia masih menjalankan upacara adat seperti selametan, labuhan (persembahan kepada laut), dan nyadran (ziarah kubur).
Sunan Kalijaga, salah satu anggota Wali Songo, memainkan peran besar dalam mengharmonikan Kejawen dengan Islam. Sunan Kalijaga memahami bahwa masyarakat Jawa memiliki kepercayaan yang kuat terhadap budaya lokal dan tradisi leluhur.
Oleh karena itu, beliau menggunakan pendekatan bijaksana dengan menggabungkan ajaran Islam dengan Kejawen melalui simbol-simbol lokal seperti wayang dan gamelan. Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran Islam dengan tetap menghormati budaya Jawa.
Pendekatan ini menjadi contoh bagaimana dua keyakinan dapat berjalan berdampingan tanpa harus saling meniadakan, dan warisan beliau terus memengaruhi cara pandang masyarakat Jawa dalam mengamalkan Islam dan Kejawen.
Setelah masuknya Islam, Kejawen mengalami transformasi yang signifikan. Kepercayaan ini tetap bertahan di kalangan masyarakat pedesaan yang jauh dari pusat-pusat kekuasaan dan agama. Banyak penganut Kejawen yang menerima Islam secara formal tetapi tetap mempertahankan praktik spiritual dan tradisi leluhur mereka.
Kejawen tidak memiliki kitab suci seperti Al-Qur'an dalam Islam atau Weda dalam Hindu. Ajarannya diwariskan secara lisan dan melalui praktik sehari-hari, seperti ritual adat, kesenian, dan cara hidup yang menghargai harmoni dengan alam.
Beberapa naskah Jawa kuno, seperti Serat Wedatama dan Serat Centini, dianggap sebagai karya sastra yang merefleksikan filosofi Kejawen, namun tidak dianggap sebagai teks agama yang baku.
Perkembangan Kejawen pada Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, praktik Kejawen dianggap sebagai bentuk perlawanan budaya terhadap dominasi asing. Belanda melihat Kejawen sebagai sistem kepercayaan yang kuat dan berpotensi memobilisasi perlawanan rakyat Jawa.
Oleh karena itu, Belanda berusaha mengurangi pengaruh Kejawen dengan mempromosikan agama Kristen yang lebih mudah dikendalikan melalui lembaga-lembaga formal. Namun, Kejawen tetap hidup, terutama di kalangan masyarakat yang masih mempertahankan identitas budaya Jawa mereka.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Kejawen tetap ada meskipun secara hukum tidak diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah. Banyak orang Jawa yang tetap mengidentifikasikan diri mereka sebagai Muslim atau Kristen, tetapi dalam praktik sehari-hari, mereka masih memegang teguh nilai-nilai dan tradisi Kejawen.
Perbedaan Kejawen dan Islam
Dalam Islam, ibadah memiliki aturan yang sangat jelas dan terstruktur, mulai dari salat, puasa, zakat, hingga haji. Terdapat pula aturan-aturan tertulis dalam Al-Qur'an dan hadis yang mengatur segala aspek kehidupan umat Islam, mulai dari cara berpakaian, makan, hingga berhubungan sosial.
Sebaliknya, dalam Kejawen, cara beribadah lebih bersifat pribadi dan tidak memiliki aturan yang baku. Ibadah dalam Kejawen bisa berupa meditasi atau perenungan untuk mencapai kedamaian batin dan menyatu dengan Sang Pencipta. Penganut Kejawen biasanya melakukan ritual tertentu sesuai dengan tradisi lokal, seperti sesaji atau tirakatan, yang tidak terikat oleh waktu dan tempat tertentu.
Islam juga memiliki pandangan yang jelas tentang kehidupan setelah mati. Umat Islam percaya bahwa kehidupan dunia ini adalah sementara, dan setelah kematian, seseorang akan ditempatkan di surga atau neraka sesuai dengan amal yang dikerjakan ketika masih hidup. Di sisi lain, Kejawen memiliki pandangan yang lebih filosofis terhadap kehidupan dan kematian.
Sumber: