Mengenal Konsep Banyak Anak Banyak Rezeki yang Sesungguhnya
Konsep Banyak Anak Banyak Rezeki-Ist-
Rezeki sebenarnya memiliki banyak bentuk, bisa berupa materi, kebahagiaan, dan lainnya. Namun, dalam konteks pembahasan ini, kami akan berfokus pada rezeki yang paling nyata dan mudah diukur, yaitu dalam bentuk materi.
Kepercayaan "banyak anak banyak rezeki" adalah konsep yang telah diwariskan secara turun-temurun. Kepercayaan ini sering digunakan sebagai justifikasi untuk memiliki banyak anak dengan anggapan bahwa semakin banyak keturunan, semakin besar rezeki yang akan diperoleh.
Namun, jika dilihat secara logis dan realistis, ada beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan. Banyak orang tua yang meyakini frasa tersebut sering kali tidak menyadari bahwa anak yang lahir tidak serta-merta membawa rezeki. Sebaliknya, anak yang lahir adalah tanggung jawab besar yang membutuhkan banyak biaya, seperti biaya hidup, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya.
Menurut UNICEF, setiap anak memiliki empat hak utama, yaitu hak untuk hidup, hak atas perlindungan, hak untuk tumbuh dan berkembang, serta hak untuk berpartisipasi. Jika dipikirkan secara logis, untuk memenuhi keempat hak tersebut, orang tua harus memiliki kemampuan finansial yang memadai.
Apabila orang tua memaksakan memiliki banyak anak tanpa kemampuan finansial yang cukup, hal ini justru dapat menimbulkan beban ekonomi yang besar bagi keluarga, dan dampaknya sering kali dirasakan langsung oleh anak-anak tersebut.
Dengan demikian, penting untuk memahami bahwa keputusan memiliki anak harus disertai perencanaan yang matang dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka secara layak, agar prinsip ini tidak menjadi alasan yang justru merugikan keluarga dan anak-anak itu sendiri.
Beban yang dimaksud di sini bukanlah anak sebagai individu, melainkan beban finansial yang harus ditanggung orang tua. Ketika pengeluaran keluarga melampaui kemampuan ekonomi, hal ini jelas akan menyulitkan.
Akibatnya, anak-anak yang dianggap sebagai pembawa rezeki justru sering kali harus menghadapi kehidupan yang penuh keterbatasan, sesuatu yang tidak pernah mereka minta. Contohnya, pendidikan mereka menjadi terhambat, makanan yang tersedia hanya seadanya, dan tekanan psikologis yang mengganggu tumbuh kembang mereka.
Faktanya, anak-anak berprestasi umumnya berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang baik. Mengapa demikian? Karena saat berada dalam fase tumbuh kembang, mereka dapat fokus pada diri sendiri tanpa harus memikirkan berbagai masalah yang dapat diselesaikan dengan uang.
Sebaliknya, anak-anak dari keluarga pas-pasan atau miskin sering kali kehilangan fokus. Alih-alih belajar dan bermain, mereka justru harus memikirkan masalah finansial keluarga—tanggung jawab yang seharusnya menjadi beban orang tua, bukan mereka.
Anak dari keluarga kaya memiliki akses ke pendidikan terbaik, les tambahan, dan fasilitas lain yang menunjang perkembangan mereka. Sementara itu, anak dari keluarga miskin sering kali merasa beruntung jika bisa bersekolah saja.
Hal ini membuat mereka kesulitan berkembang karena keterbatasan kesempatan dan tekanan yang tidak seharusnya mereka tanggung. Data menunjukkan bahwa biaya pendidikan di Indonesia meningkat hingga 15% setiap tahun. Dalam situasi ini, anak dari keluarga miskin harus berjuang keras untuk sekadar bersekolah, apalagi untuk mengejar pendidikan tinggi.
Kondisi ini semakin memprihatinkan ketika keluarga dengan banyak anak tidak mampu memberikan pendidikan yang layak. Anak-anak dari keluarga seperti ini sering tertinggal jauh dibanding teman-temannya yang lain, yang fokus mengejar pendidikan.
Padahal, anak dapat menjadi sumber rezeki jika mereka tumbuh dengan baik, mendapatkan pendidikan yang memadai, dan memiliki keterampilan untuk produktif secara ekonomi. Namun, semua itu memerlukan investasi besar dari orang tua, baik secara finansial maupun emosional.
Jika anak tidak dibekali dengan pendidikan dan keahlian yang cukup, risiko mereka menjadi beban finansial keluarga akan semakin besar. Alih-alih menjadi sumber rezeki, mereka justru berpotensi memperpanjang siklus kemiskinan dari generasi ke generasi.
Sumber: