Orang Miskin Akan Tetap Dipelihara Supaya Tetap Miskin, Begini Psikologi Kemiskinan

Orang Miskin Akan Tetap Dipelihara Supaya Tetap Miskin, Begini Psikologi Kemiskinan

Orang Miskin Akan Tetap Dipelihara Supaya Tetap Miskin-RJ-

Selain ekonomi, kelas penguasa ini diduga juga mengontrol pendidikan. Dalam buku Pedagogy of the Oppressed karya Paulo Freire, diperkenalkan konsep banking education atau pendidikan gaya bank untuk menggambarkan sistem pendidikan yang bersifat pasif dan hanya mengandalkan transfer informasi dari guru ke siswa. Dalam model ini, guru dianggap sebagai otoritas utama yang "menyetorkan" pengetahuan kepada siswa, sementara siswa berperan pasif, layaknya rekening bank yang hanya menerima dan menyimpan informasi.

Paulo Freire menganggap metode ini sebagai bentuk penindasan karena menghalangi siswa untuk berpikir kritis dan aktif. Dengan hanya berperan sebagai penerima, siswa tidak dapat mengembangkan pemikiran kritis atau menyuarakan gagasan mereka. Model ini melatih individu untuk mematuhi struktur kekuasaan tanpa mempertanyakannya, yang pada akhirnya melanggengkan ketidakadilan sosial.

Melihat penjelasan dalam buku tersebut, kita dapat mengaitkannya dengan sistem pendidikan saat ini yang tampak dirancang untuk mempersiapkan individu menjadi pekerja, bukan inovator atau pemikir kritis. Sejak kecil, kita dididik untuk beradaptasi dengan sistem yang sudah ada, bukan untuk menentang atau memperbaiki sistem tersebut.

Fenomena Poverty Industri

Ada yang disebut dengan poverty industry, yaitu sebuah industri yang memanfaatkan kemiskinan untuk meraih keuntungan. Sederhananya, ini adalah bisnis yang menargetkan orang-orang miskin untuk menghasilkan pendapatan.

Ironis, bukan? Bayangkan, banyak organisasi, baik yang mengatasnamakan LSM atau yayasan amal, yang katanya bertujuan membantu orang miskin. Namun, kadang-kadang mereka tidak sepenuhnya fokus pada bantuan tersebut.

Beberapa di antaranya lebih berfokus pada cara memperoleh dana atau sumbangan, yang kemudian melahirkan konsep poverty industry ini. Mereka seolah-olah menggantungkan bisnis mereka pada kemiskinan orang lain—semakin banyak orang miskin, semakin banyak dana yang bisa mereka kumpulkan. Meskipun tidak semuanya seperti ini, praktik semacam ini memang ada.

Contoh kasusnya pada tahun 2022, ketika PPATK mengungkapkan adanya 176 lembaga filantropi atau yayasan amal yang mengumpulkan dana, namun sebagian dana tersebut disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau bisnis yang tidak semestinya. Jumlah 176 ini bukan angka kecil, dan hal ini menguatkan argumen bahwa poverty industry memang nyata adanya.

Contoh lain yang mudah dipahami adalah microfinance atau pinjaman mikro. Awalnya, konsep microfinance ini sangat bagus, yakni memberikan pinjaman kecil kepada orang-orang yang tidak memiliki akses ke bank agar mereka bisa memulai usaha.

Namun, banyak oknum yang memberikan pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi, sehingga bukannya membantu orang miskin keluar dari kemiskinan, justru membuat mereka semakin terjerat utang. Bisa dibayangkan, orang yang sudah berada dalam kesulitan malah semakin kesulitan karena beban utang yang terus bertambah.

Sekali lagi, ini memang hanya dilakukan oleh segelintir oknum, tetapi dari data yang ada, terlihat bahwa praktik poverty industry ini masih dijalankan oleh banyak pihak.

Intinya, poverty industry adalah praktik manipulatif yang mengemas kemiskinan layaknya produk, dengan narasi yang menyentuh perasaan, namun belum tentu benar-benar bertujuan mengurangi kemiskinan. Terkadang, mereka justru membutuhkan kemiskinan tetap ada agar bisnis mereka terus berjalan.

Psikologi Kemiskinan

Kapitalisme global tidak dapat dipisahkan dari peran perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan ini memiliki kekuatan besar untuk mengatur harga, menentukan kebijakan bisnis, dan bahkan melobi pemerintah untuk kepentingan mereka.

Mereka berperan penting dalam mempertahankan kemiskinan di tingkat global. Sumber daya alam di negara-negara berkembang diekspor ke luar negeri dengan harga yang sangat murah, sementara masyarakat lokal tidak dapat merasakan hasilnya secara maksimal.

Bahkan, ada perusahaan yang sengaja membayar pekerja mereka dengan upah minim di negara-negara berkembang untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Hal ini menyebabkan kesenjangan ekonomi semakin lebar.

Teori konspirasi menyebutkan bahwa terdapat elit global yang mengendalikan perusahaan-perusahaan ini agar mereka dapat terus mengontrol ekonomi dunia. Mereka tidak ingin masyarakat miskin memiliki kesempatan yang sama, karena hal itu dapat mengancam posisi mereka di puncak piramida ekonomi.

Sumber: