Sistem Pendidikan di Indonesia Semakin Mengkhawatirkan, Ini 4 Pola Pikir yang Bisa Ubah Kebokbrokan Itu
Sistem Pendidikan di Indonesia Bokbrok-RJ-
Sebagai contoh, jika kita kehujanan di jalan, daripada menyalahkan hujan yang jelas tidak bisa dikendalikan, lebih baik kita menyalahkan diri sendiri karena tidak membawa jas hujan. Sikap ini membantu kita fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan untuk mencapai keinginan dan menghindari tindakan yang tidak produktif, seperti marah-marah tanpa hasil.
Contoh lainnya adalah ketika kita merasa sistem pendidikan di Indonesia kurang memadai. Jika kita kebetulan bersekolah di tempat yang menurut kita kurang mendukung, kita bisa mengkritisi pemerintah, namun sebaiknya kita juga introspeksi dan menyalahkan diri sendiri atas kebodohan yang mungkin muncul karena kurangnya inisiatif dalam mencari ilmu di luar sekolah, misalnya melalui internet. Sayangnya, kesadaran seperti ini masih jarang, karena memang sulit untuk berkembang tanpa adanya kesadaran diri.
Intinya, kita harus memiliki tujuan belajar yang jelas dan kesadaran belajar yang tinggi. Walaupun sistem di sekolah tidak mendukung, kita tetap akan mencari cara belajar lain, seperti melalui internet. Menurut kalian, bagaimana cara meningkatkan kesadaran belajar di masyarakat kita, terutama di kalangan pelajar?
3. Ketangguhan
Penerapan dua mental dan pola pikir di atas tentunya membutuhkan pemaksaan diri yang mungkin tidak menyenangkan, tetapi sangat perlu dilakukan agar kita bisa mencapai tujuan utama, yaitu bertahan hidup di era sekarang. Hal ini memerlukan mental ketiga, yaitu ketangguhan (resilience).
Pertama-tama, kami ingin mengubah cara pandang Anda terhadap dunia. Kami ingin memperbaiki pola pikir yang mungkin selama ini menyebabkan depresi berkepanjangan dan kesulitan berkembang, terutama di era sekarang.
Diharapkan mental ketiga ini dapat membantu Anda menjalani hidup dengan lebih tenang. Cara pandang yang perlu Anda pahami dan terapkan adalah bahwa dunia ini tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan atau kemauan pribadi kita. Hukum alam menuntut kita untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, bukan sebaliknya.
Contohnya, jika Anda lahir dalam kondisi ekonomi dan lingkungan yang tidak mendukung tujuan hidup Anda, itulah cara kerja dunia. Kita tidak bisa memilih untuk lahir di keluarga yang mapan atau menjadi anak seorang selebriti. Namun, kita bisa menyesuaikan diri dengan berusaha untuk mencapai apa yang kita inginkan.
Berusaha memang pahit dan sulit, tetapi hanya dengan itulah Anda bisa mewujudkan impian. Menahan diri untuk menerima kesulitan dan kepahitan hidup memerlukan mental ketangguhan—mampu menerima dan menghadapi tantangan sambil tetap berusaha, serta memahami bahwa dunia tidak menyediakan apa pun secara gratis.
BACA JUGA:Menemukan Kebebasan dalam Pendidikan di SDN Sindangraja 1
BACA JUGA:Kerja Sama DPR RI dan Parlemen Peru: Dorong Pendidikan, Perdagangan, dan Pembangunan Berkelanjutan
Ketangguhan juga berarti memiliki harapan atau alasan yang kuat untuk terus bertahan dan siap menerima kesulitan. Segala sesuatu yang diinginkan memerlukan harga, entah itu dalam bentuk waktu, usaha, atau bahkan uang. Dengan memiliki ketangguhan mental ini, Anda akan lebih siap menghadapi pahitnya perjuangan demi mencapai tujuan.
4. Optimisme
Menurut pendapat kami, masyarakat kita sering kali kesulitan dalam menerapkan mental optimisme. Mengapa demikian? Karena ketika mereka mencoba bersikap optimis, sebagian merasa seolah-olah mereka mendahului takdir Tuhan atau melawan takdir.
Kami tidak bermaksud menyalahkan pandangan agama mana pun—kami juga percaya pada adanya takdir. Namun, yang kami sayangkan dan ingin bahas di sini adalah bahwa pesimisme yang beralasan dengan takdir sering kali membuat orang melupakan ikhtiar, padahal usaha juga diperintahkan Tuhan.
Contoh nyata yang kami temukan saat scrolling reels di Instagram: ada video Timothy Ronald yang dengan optimis menyatakan keinginannya untuk menjadi salah satu dari 9 naga dalam 10 tahun ke depan. Saat membaca komentar di video tersebut, banyak yang menunjukkan pesimisme secara tidak langsung, misalnya dengan mempertanyakan "umur."
Hal ini bisa menjadi bahan refleksi. Jika mereka memiliki impian besar yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk diwujudkan, kemungkinan besar mereka akan mengurungkan niat karena merasa pesimis terhadap usia mereka sendiri.
Sumber: