Tren Marriage is Scary Ramai Dibahas, Begini Cara Mengendalikan Pengaruh Media Sosial Terhadap Pola Pikir

Tren Marriage is Scary Ramai Dibahas, Begini Cara Mengendalikan Pengaruh Media Sosial Terhadap Pola Pikir

Marriage is Scary Ramai Dibahas-Ilustrasi/Unsplash-

Saya merasa bahwa media sosial membentuk sebuah "bubble" yang membuat netizen terjebak dalam standar yang mereka buat sendiri. Mereka yang menciptakan tren dan standar tersebut, namun mereka juga yang ribut dengan standar itu.

Maksudnya bagaimana? Nanti kita bahas lebih lanjut. Tren "Marriage is Scary" ini hanyalah salah satu contoh dari betapa mengerikannya dampak media sosial.

Kami merasa bahwa kehidupan masyarakat setelah pandemi COVID-19 berubah drastis. Selama masa pandemi, masyarakat banyak berinteraksi melalui media sosial, dan pada saat itu muncul berbagai istilah baru yang disertai dengan tren-tren yang seolah tak ada habisnya, seperti istilah "insecure," "overthinking," dan lain-lain.

Kami tidak tahu pasti apakah istilah-istilah ini sudah ada sebelumnya, tetapi yang kami perhatikan, sejak pandemi dan ketergantungan kita pada media sosial, istilah-istilah ini mulai marak dan menjadi tidak asing lagi.

Saya ingat, pada masa itu TikTok sedang naik daun. Platform yang dulu sering diolok-olok tiba-tiba banyak menarik perhatian orang, dan akhirnya banyak yang sampai kecanduan. Di sinilah awal mula munculnya tren-tren yang mempengaruhi pemikiran anak muda saat ini, di mana istilah-istilah yang saya sebut tadi mulai terimplementasi dalam kehidupan nyata.

Misalnya, pada waktu itu kita semua diwajibkan memakai masker saat keluar rumah. Saya ingat, ada konten-konten yang mengatakan bahwa memakai masker bisa menambah kecantikan atau ketampanan. Karena banyak yang setuju, akhirnya banyak orang merasa insecure ketika keluar rumah tanpa masker, padahal sebelumnya sudah terbiasa memakai masker.

Istilah "insecure" yang tadinya ramai di media sosial perlahan mulai terimplementasi dalam kehidupan nyata, terutama saat itu bersamaan dengan meningkatnya hype terhadap gaya Korea. Apakah kalian sadar bahwa hype ini secara tidak langsung melahirkan standar kecantikan baru?

Misalnya, pria tampan dianggap harus berkulit putih dan tinggi, sementara perempuan cantik juga harus berkulit putih, langsing, dan sebagainya. Ini melahirkan standar kecantikan yang terlalu sempit, karena kita semua memiliki penampilan yang berbeda-beda.

Namun, masalahnya, media sosial menyempitkan semua itu ke dalam satu perspektif yang sama, sehingga banyak orang berusaha melakukan berbagai hal hanya untuk memenuhi standar media sosial, yang sebenarnya, tidak diikuti pun tidak menjadi masalah.

3. Pikirkan Perjuangan Seseorang di Balik Pencapaian

Menurut kami, media sosial sudah seperti sebuah bentuk perbudakan, karena banyak orang terpancing melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak mereka sukai demi diterima atau mengikuti standar-standar yang mereka ciptakan sendiri. Ketika mereka tidak bisa menjadi seperti orang lain, hal itu menimbulkan perasaan gelisah, terutama saat mereka mulai membandingkan diri dengan orang lain.

Menurut penelitian dari Penn State University pada tahun 2016, melihat foto orang lain di media sosial bisa menurunkan kepercayaan diri, karena orang cenderung membandingkan diri mereka dengan foto-foto kebahagiaan orang lain.

Ini sebenarnya adalah kesalahan yang sering dilakukan, di mana kita membandingkan diri sendiri, yang kita ketahui seluruhnya, termasuk kekurangan-kekurangannya, dengan orang lain yang hanya menunjukkan sisi kebahagiaan di media sosial. Ini jelas tidak seimbang.

Bayangkan, Anda mungkin tahu bahwa Anda sering begadang, memiliki masalah keuangan, dan lain-lain, tetapi ketika Anda membandingkan diri dengan orang lain yang memposting foto bahagia, Anda merasa tertinggal jauh. Padahal, di balik foto bahagia itu, mungkin saja orang tersebut menyimpan banyak masalah yang tidak diunggah ke media sosial.

Seperti halnya seorang penyanyi yang tampil di atas panggung, kita hanya melihat penampilannya di panggung, tetapi tidak melihat perjuangannya saat berlatih sebelum tampil. Masalahnya, kita sering membandingkan diri kita secara keseluruhan dengan "panggung" orang lain, sehingga kita hanya melihat sisi baik mereka saja.

4. Jangan Hiraukan Anggapan Orang Lain

Dampak paling buruk dari media sosial adalah hidup kita menjadi mudah dikendalikan oleh konten-konten yang muncul di beranda. Misalnya, jika memakai pakaian tertentu dianggap "alay," tidak mengikuti akun tertentu dianggap "ketinggalan zaman," atau tidak mengikuti berita terbaru dianggap "norak."

Sumber: