Menyingkap Akar Politik Paternalistik di Indonesia Sebagai Sebuah Tantangan Bagi Demokrasi

Menyingkap Akar Politik Paternalistik di Indonesia Sebagai Sebuah Tantangan Bagi Demokrasi

Ketua BPIP Antonius Benny Susetyo-Doc. BPIP-

Masyarakat juga harus diberikan ruang untuk menyampaikan kritik dan protes tanpa takut akan represali. Mencabik politik paternalistik dan membangun sistem meritokrasi yang berlandaskan etika dan integritas adalah langkah penting menuju demokrasi yang berkualitas.

Ini memerlukan komitmen dan kerjasama dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan masyarakat luas. Dengan membangun ekosistem etika yang kuat, kita bisa memastikan bahwa para pemimpin kita memiliki integritas dan profesionalitas yang tinggi, serta mampu memimpin dengan adil dan bijaksana.

Kita harus terus berjuang untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, di mana nilai-nilai Pancasila benar-benar menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, kita bisa menjaga dan memperkuat demokrasi kita, serta memastikan bahwa masa depan bangsa ini cerah dan penuh harapan.

Gotong-royong, kekeluargaan, dan toleransi merupakan nilai-nilai inti yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama. Namun, dalam prakteknya, nilai-nilai ini sering kali disalahgunakan untuk tujuan yang tidak mulia, seperti penyelewengan, nepotisme, dan pelanggaran etika.

Oleh karena itu, kita harus waspada dan berupaya untuk menjaga integritas nilai-nilai ini, memastikan bahwa mereka digunakan untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Gotong-royong dan kekeluargaan adalah dua nilai yang sangat dihargai dalam budaya Indonesia.

Gotong-royong, atau kerjasama, adalah prinsip di mana anggota masyarakat bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama. Kekeluargaan mencerminkan ikatan emosional dan dukungan yang kuat antara anggota keluarga atau komunitas. Namun, kedua nilai ini dapat dengan mudah disalahgunakan.

Gotong-royong, misalnya, bisa digunakan untuk melakukan penyelewengan ketika anggota masyarakat bekerja sama untuk melindungi tindakan korupsi atau nepotisme. Kekeluargaan bisa menjadi alasan untuk memberikan perlakuan istimewa kepada kerabat atau teman dekat, mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi dan keadilan.

Meritokrasi adalah sistem di mana individu diberi kesempatan dan posisi berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan berdasarkan hubungan kekeluargaan atau kedekatan dengan kekuasaan.

Di Indonesia, implementasi meritokrasi masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu contoh yang jelas adalah gagasan Presiden Jokowi tentang kabinet meritokrasi. Meskipun niat awalnya baik, praktek di lapangan sering kali berbeda.

Banyak posisi penting masih diisi oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, bukan berdasarkan kemampuan dan prestasi. Menurut Immanuel Kant, etika adalah kewajiban untuk menjalankan yang baik dan menghindarkan yang buruk.

Dalam konteks ini, kita harus membangun ekosistem etika dalam penyelenggaraan negara. Etika harus menjadi standar moral yang dipegang teguh oleh para pemimpin. Pelanggaran etis harus mendapatkan sanksi yang berat, baik sanksi sosial maupun sanksi pada dirinya sendiri. 

Kepala negara harus menjadi role model dalam hal etika, sehingga tidak memanipulasi hukum untuk kepentingan kerabatnya atau orang-orang dekatnya. Sistem nilai yang objektif harus dibangun, sehingga seseorang mengikuti merit sistem berdasarkan rekam jejak dan profesionalisme, bukan karena hubungan atau kedekatan.

Pendidikan memainkan peran penting dalam mengubah budaya politik dan sosial. Pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai etika, integritas, dan meritokrasi sejak dini. Generasi muda harus diajarkan untuk menghargai prestasi dan kemampuan, bukan kedekatan atau hubungan kekeluargaan.

Pendidikan juga harus menanamkan nilai-nilai demokrasi dan partisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencabik politik paternalistik, kita harus membangun ekosistem etika yang kuat. Ini termasuk memiliki lembaga-lembaga etik yang independen dan berwibawa, serta menegakkan standar etika di semua tingkatan kepemimpinan.

Pelanggaran etika harus mendapatkan sanksi yang tegas, baik sanksi sosial maupun sanksi formal. Hanya dengan demikian kita bisa memastikan bahwa etika dan integritas menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sumber: