Pengadilan Prancis Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Presiden Suriah
Potret Presiden Suriah Bashar al Assad ketika mengunjungi UEA-SoftWarNews-X
RADAR JABAR - Pengadilan Prancis pada Rabu (26/6) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin rezim Suriah, Bashar al-Assad, atas tuduhan keterlibatan dalam serangan kimia di Ghouta Timur pada 2013.
Pengadilan Banding Paris menolak permintaan Kantor Kejaksaan Anti-Terorisme Nasional Prancis (PNAT) untuk membatalkan surat perintah tersebut, yang beralasan bahwa Assad memiliki kekebalan hukum.
BACA JUGA:Indonesia Minta Austria Untuk Pertimbangkan Mengenai Pengakuan Negara Palestina
"Melarang penggunaan senjata kimia adalah bagian dari hukum kebiasaan internasional sebagai aturan wajib, dan kejahatan internasional yang sedang dipertimbangkan oleh para hakim tidak dapat dianggap sebagai bagian dari tugas resmi seorang kepala negara," kata pengadilan dalam pernyataannya.
"Dengan demikian, kejahatan tersebut dapat dipisahkan dari kedaulatan yang secara alami melekat pada tugas tersebut. Sehingga surat perintah penangkapan tetap berlaku," tambah mereka.
BACA JUGA:Kebakaran di Pabrik Baterai Hwaseong Sebabkan 22 orang Tewas
Kasus ini akan dikembalikan kepada hakim investigasi, dan jaksa memiliki waktu lima hari untuk mengajukan banding ke Pengadilan Kasasi.
Pada November 2023, surat perintah penangkapan dikeluarkan untuk Assad atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang terkait dengan serangan kimia 2013.
BACA JUGA: Survei Pemilu Perancis: Sayap Kanan Memimpin di Putaran Pertama Pemilu Dini Perancis
Saudara Assad, Maher al-Assad, yang merupakan komandan Divisi Keempat Tentara Suriah, dan seorang jenderal rezim juga menghadapi surat perintah penangkapan. Diketahui sebelumnya, pada 21 Agustus 2013, pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia di Ghouta Timur, menewaskan lebih dari 1.400 warga sipil.
Selanjutnya, pada 2018, Ghouta Timur mengalami blokade paling ketat dan penggunaan senjata paling ekstensif oleh pemerintah Suriah. Oposisi terpaksa mengungsi pada April 2018 berdasarkan kesepakatan koersif dengan Damaskus dan Rusia.*
Sumber: antara