Penggemar Anime? Ini Hukum Menggambar Anime Menurut Hadis

Penggemar Anime? Ini Hukum Menggambar Anime Menurut Hadis

Dalam islam ada larangan menggambar mahluk bernyawa, bagaimana dengan menggambar anime? apakah juga dilarang menurut hukum islam? --

Ketiga, hadis qudsi yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a.: “Aku mendengar Nabi Saw. bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Siapa yang lebih zalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku, hendaklah ia cipta biji sawi, atau biji tepung, atau biji gandum!” (HR. Bukhari: 7004)

Dari hadis pertama, dapat diketahui bahwa larangan tashwir ditujukan atas pembentukan/penyerupaan sesuatu yang bernyawa, karena tidak mungkin azab ‘menghidupkan’ pada hadis tersebut ditujukan untuk diterapkan pada sesuatu yang secara lahiriah tidak dapat dimasukkan ruh ke dalamnya.

Informasi lainnya, gambar merupakan alasan keengganan malaikat masuk ke dalam rumah. Adapun hadis yang dapat memperjelas perihal ini, yakni hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah mengenai Jibril a.s. yang berkata kepada Nabi Saw. bahwa tidak ada yang dapat menghalanginya (Jibril) untuk masuk ke dalam rumah seseorang kecuali jika di dalamnya terdapat patung seorang laki-laki dan tirai bergambar. Jibril kemudian meminta Nabi Saw. untuk memerintahkan umatnya memotong kepala patung hingga berbentuk seperti pohon, memotong tirai bergambar untuk dijadikan bantal yang diduduki, dan mengeluarkan anjing. (HR. Ahmad: 7701, shahih menurut Syu’aib al-Arna’uth)

Pada hadis kedua, dapat diketahui bahwa tashwir yang dilarang adalah yang ditujukan pada praktik kesyirikan. Petunjuknya ada pada gereja yang berhubungan dengan kaum Nasrani, kaum yang diabadikan dalam Alquran menjadikan Rasul yang diutus kepada mereka sebagai Tuhan.

Yusuf al-Qardhawi pun menjelaskan asbabul wurud hadis terkait, bahwa di antara umat-umat terdahulu ada yang membuat patung orang-orang saleh yang sudah meninggal untuk mengenang mereka, namun seiring berjalannya waktu mereka menyakralkannya sedikit demi sedikit hingga akhirnya dijadikan sesembahan selain Allah. (Yusuf al Qardhawi, al-Halal wal Haram fil Islam, hal.110-111)

Hal tersebut sejalan dengan firman Allah Swt. dalam QS. Nuh ayat 23: “Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.”

Ibnu Abbas r.a. kemudian menjelaskan bahwa kelima nama yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah nama-nama orang saleh di masa mereka yang sudah meninggal, setan membisikkan untuk mendirikan patung atas nama mereka, dan setelah ilmu tiada berhala-berhala itu pun disembah oleh generasi sesudah mereka. (HR. Bukhari 4539)

Al-Qardhawi menyatakan bahwa di antara rahasia diharamkannya patung adalah untuk menjaga tauhid dan mencegah umat Islam menyerupai kaum penyembah berhala yang membuat patung kemudian mengagungkan dan berdiri di depannya dengan penuh khusyu’. (Yusuf al Qardhawi, al-Halal wal Haram fil Islam, hal.110)

Pada hadis ketiga, dapat diketahui bahwa orang yang menciptakan hal yang serupa seperti ciptaan Allah Swt. adalah orang yang paling zalim. Lebih lanjut al-Qardhawi menjelaskan bahwa yang dimaksudkan adalah orang yang memiliki intensi untuk menyaingi ciptaan-Nya. (Yusuf al-Qardhawi, al-Islam wa al-Fann, hal.95)

Ulama pun berbeda pendapat mengenai hal ini. Kelompok yang membolehkan aktivitas menggambar berpendapat bahwa tashwir yang diharamkan adalah membuat patung/penyerupaan tiga dimensi. Sedangkan menggambar pada bidang datar (musathah) dibolehkan namun dihukumi makruh, kemakruhannya hilang apabila diterapkan pada media yang tidak terhormat. (Ahmad Hilmi, Tashwir Seni Rupa dalam Pandangan Islam, hal. 15)

Dalil yang umum digunakan adalah ayat-ayat Alquran mengenai pengharaman berhala seperti QS. al-Shāffāt [37]:95-96, serta hadis dalam Shahih Bukhari yang menyatakan bahwa seorang sahabat yakni ‘Ubaidullah al-Khawlāny mengaku pernah mendengar Nabi Saw. mengecualikan gambar pada pakaian dalam perkara tashwir. (HR. Bukhari: 2987)

Hadis ketiga dalam tulisan ini juga dijadikan dalil kebolehan musathah, dikarenakan Allah Swt. menciptakan sesuatu dalam bentuk mujassam (tiga dimensi) sehingga kezaliman yang dimaksudkan juga merupakan aktivitas penyerupaan dalam media tiga dimensi. (Ahmad Hilmi, Tashwir Seni Rupa dalam Pandangan Islam, hal. 16)

Kelompok yang mengharamkan secara mutlak, mendasarkan argumennya kepada petunjuk eksplisit hadis-hadis tashwir pada umumnya, sebagai bentuk kehati-hatian. Mayoritas ulama madzhab masuk ke dalam kelompok ini kecuali kalangan Malikiyah yang membolehkan musathah. (Ibn Nujaim, Al-Thahtawi ‘ala al-Dur al-Mukhtar, hal. 273)

Ada pula kelompok yang mencoba menengahi kedua pendapat. Beberapa ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah menghalalkan musathah dengan syarat gambar yang dihasilkan tidak menampakkan anggota badan yang lengkap. (Ahmad Hilmi, Tashwir Seni Rupa dalam Pandangan Islam, hal. 24)

Setelah mencermati berbagai pendapat dan argumen tentang tashwir, penulis menarik beberapa kesimpulan. Pertama, pada dasarnya illat (alasan) pengharaman tashwir terletak pada adanya intensi kesyirikan atau menyaingi Tuhan. Kedua, tashwir yang tidak diperbolehkan adalah yang menampakkan seluruh anggota tubuh makhluk bernyawa dan yang diletakkan pada media yang menunjukkan penghormatan.

Sumber: