Sampai Begini! Ini 8 Dampak Penurunan Populasi Penduduk di Jepang

Minggu 01-12-2024,21:14 WIB
Reporter : Wanda Novi
Editor : Wanda Novi

Fenomena hikikomori (bunuh diri) banyak menimpa anak muda yang merasa tertekan oleh tuntutan sosial dan ekonomi memilih mengurung diri di rumah, menghindari interaksi sosial. Situasi ini menambah beban pada masyarakat, karena kelompok ini sulit berkontribusi dalam ekonomi atau kehidupan sosial.

7. Fenomena Lonely Death

Salah satu dampak sosial dari krisis demografis di Jepang adalah fenomena lonely death atau kematian dalam kesendirian. Fenomena ini terjadi ketika orang tua yang hidup sendiri meninggal tanpa ada yang mengetahuinya.

Jenazah mereka sering kali baru ditemukan beberapa hari kemudian. Banyak lansia di Jepang hidup tanpa anak atau cucu yang mendampingi mereka, sehingga kematian dalam kesendirian ini menjadi isu yang memprihatinkan.

8. Tingginya Angka Harapan Hidup

Fenomena ini juga mencerminkan bahwa Jepang memiliki angka harapan hidup yang relatif tinggi. Dari total populasi sekitar 125 juta jiwa, hampir 13 juta orang berusia 80 tahun ke atas (sekitar 10,4%).

Sekitar 20 juta orang berusia 75 tahun ke atas (sekitar 16% dari total populasi). Meskipun jumlah lansia tinggi, angka kelahiran yang rendah menyebabkan tren penurunan populasi secara keseluruhan.

Penyebab Rendahnya Angka Kelahiran di Jepang

Jepang memiliki tingkat kelahiran yang sangat rendah, rata-rata hanya 1,3 anak per perempuan, jauh di bawah angka pengganti (replacement rate) sebesar 2,1 anak. Beberapa faktor penyebabnya adalah:

1. Biaya Hidup yang Tinggi

Harga properti di Jepang sangat tinggi, terutama di kota-kota besar. Pendidikan di Jepang membutuhkan biaya besar, mulai dari sekolah hingga ekstrakurikuler. Tingginya biaya hidup membuat banyak pasangan merasa sulit memenuhi kebutuhan anak hingga dewasa.

2. Perubahan Gaya Hidup

Banyak pasangan muda menganggap pernikahan dan memiliki anak sebagai pilihan, bukan keharusan. Sebagian besar generasi muda memilih untuk hidup sendiri tanpa menikah atau memiliki anak, karena merasa lebih bebas menikmati hidup.

3. Ketidakpastian Ekonomi

Banyak pasangan merasa khawatir tidak dapat mencukupi kebutuhan anak karena alasan finansial. Beban kerja yang tinggi juga membuat mereka ragu untuk berkomitmen pada kehidupan berkeluarga.

Selain itu, generasi muda di Jepang merasakan tekanan sosial dan psikologis yang tinggi akibat ekspektasi masyarakat dan beban ekonomi. Banyak yang merasa tidak siap atau tidak ingin menambah beban dengan menikah dan memiliki anak, mengingat kondisi ini.

Jepang dikenal memiliki budaya kerja yang menuntut, di mana jam kerja panjang dan lembur sudah dianggap hal biasa. Banyak pekerja merasa kelelahan dan memiliki sedikit waktu untuk kehidupan pribadi, termasuk untuk membangun keluarga.

Kategori :