RADAR JABAR – Membahas kemampuan kita untuk bekerja sama, terdapat 5 strategi menghadapi konflik agar masalah tidak semakin berkepanjangan.
John D. Rockefeller, seorang pebisnis legendaris, menyatakan bahwa ia bersedia membayar lebih untuk orang-orang yang memiliki kemampuan bekerja sama.
Kemampuan ini dianggap krusial dalam membangun kepercayaan, menciptakan solusi inovatif, serta meningkatkan produktivitas kerja dan bisnis. Namun, memiliki kemampuan ini tidaklah mudah karena dalam kolaborasi sering kali terdapat potensi konflik. Konflik bisa muncul dari perbedaan pendapat, tujuan, kepentingan, atau nilai-nilai yang berbeda.
Ketidakmampuan dalam mengelola konflik dapat berdampak buruk, seperti keretakan dalam hubungan profesional atau pribadi, suasana kerja yang tidak sehat karena ketegangan dan permusuhan, kehilangan semangat dalam berkarya, dan penurunan kualitas pengambilan keputusan.
Ini semua dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas karena terbuangnya energi dan fokus dalam menangani konflik yang tidak terselesaikan. Oleh karena itu, kemampuan menangani konflik dengan efektif sangat penting dalam menjaga keharmonisan hubungan dan memastikan kolaborasi yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
Pada tahun 1978, Kenneth Thomas dan Ralph Kilmann memperkenalkan lima strategi dalam menangani konflik, yang dikembangkan berdasarkan kecenderungan seseorang dalam menghadapi konflik. Ada dua kecenderungan umum yang biasanya dilakukan oleh individu saat menghadapi konflik.
BACA JUGA:Apa Itu ADHD? Simak Penyebab, Gejala, dan Cara Mengatasinya
Kecenderungan untuk mengedepankan kepentingan orang lain, yang ditandai dengan perilaku koperatif dan keinginan untuk bekerja sama. Kecenderungan untuk mengedepankan kepentingan diri sendiri, yang ditandai dengan perilaku asertif, yaitu menyampaikan aspirasi atau memperjuangkan kepentingan pribadi secara terbuka.
Berdasarkan dua dimensi ini, Thomas dan Kilmann mengidentifikasi lima gaya atau pendekatan umum dalam menangani konflik. Setiap gaya memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, dan pilihan strategi yang tepat tergantung pada situasi yang dihadapi.
Oleh karena itu, penting untuk menganalisis konteks konflik sebelum menentukan strategi yang sesuai. Mereka yang paham kapan harus berperang dan kapan harus menghindari konfliklah yang akan menjadi pemenang dalam mengelola konflik dengan efektif.
1. Menghindari Konflik
Seorang teman saya mengeluhkan bahwa akhir-akhir ini dia tidak merasa nyaman berbelanja di Alfamart atau Indomaret karena keberadaan tukang parkir di sana. Akibatnya, dia memilih untuk lebih sering berbelanja di warung Madura.
Ini adalah contoh dari pendekatan menghindari konflik, di mana kepentingan teman saya dan toko kelontong tidak terpenuhi. Dia mengabaikan keinginannya untuk berbelanja di toko kelontong tersebut dan juga tidak mempertimbangkan kerugian yang mungkin dialami toko kelontong karena kehilangan pelanggan.
Pendekatan ini sesuai untuk konflik yang dianggap tidak penting atau sepele. Selain itu, cocok juga jika manfaat menyelesaikan konflik tidak sebanding dengan risiko yang mungkin terjadi. Sebagai hasilnya, daripada menghadapi tukang parkir dan menyampaikan keluhannya kepada karyawan toko, teman saya memilih untuk menghindari konflik. Selain itu, dalam konteks ini tidak ada kebutuhan untuk bekerja sama dalam jangka panjang.
Seperti yang dikatakan oleh Einstein, "Orang yang cerdas akan menyelesaikan masalah, tetapi orang yang bijak akan menghindari masalah."
2. Pendekatan Akomodatif
Seorang teman saya juga pernah menceritakan pengalamannya di awal karirnya, di mana dia memiliki atasan yang sangat micro-managing dan otoriter. Dia sering diberi tugas-tugas yang aneh, namun demi menjaga karirnya di perusahaan tersebut, dia patuh terhadap semua perintah dan instruksi atasan tersebut.