Laporan dari Human Rights Watch menyebutkan bahwa geng kriminal dan afiliasi kelompok bersenjata Islamis menimbulkan ketakutan di kem-kem pengungsian Cox's Bazar, mendorong beberapa pengungsi Rohingya untuk melarikan diri menuju Indonesia.
Seorang pengungsi Rohingya berusia 19 tahun yang baru tiba di Aceh bersama keluarganya mengungkapkan bahwa ancaman dan ketakutan dari para penjahat di Cox's Bazar membuatnya membayar lebih dari 1800 dolar atau sekitar Rp27,8 juta untuk melakukan perjalanan ke Indonesia menggunakan kapal usang.
Menurut kepolisian Bangladesh, setidaknya 60 orang Rohingya tewas di kamp Cox's Bazar tahun ini. Nace Sunanlin, salah satu pendiri Free Rohingya Coalition, menyatakan bahwa banyak pengungsi Rohingya melarikan diri dari kekerasan di kamp-kamp tersebut.
Luin juga mengungkapkan bahwa geng kriminal menguasai kamp pengungsian di malam hari, menciptakan lingkungan yang tidak aman dan menjadi tantangan signifikan bagi pengungsi. Akibatnya, pengungsi Rohingya mulai meninggalkan kamp dan memulai perjalanan melintasi lautan sejauh 1800 KM menuju Indonesia menggunakan perahu reyot.
Terkait penolakan warga Aceh terhadap kedatangan Rohingya, keberatan ini disebabkan oleh pelanggaran norma-norma syariat Islam di Aceh. Mereka juga dikritik karena perilaku yang dianggap tidak baik. Aceh, yang menganut prinsip keislaman yang kuat, menerapkan norma-norma kehidupan yang bersumber dari ajaran Islam dalam pemerintahannya.
BACA JUGA:Sejarah Lengkap Zionisme dan Bukti Kelicikan Zionis Yahudi Merebut Tanah Palestina
Beberapa tokoh masyarakat Aceh menyatakan alasan penolakan terhadap gelombang kedatangan Rohingya di Aceh. Kepala desa Biren Mukhtar Yusuf, misalnya, mengungkapkan bahwa penolakan tersebut bukan karena masalah logistik, melainkan karena keterbatasan tempat.
Wilayah tersebut, kata Yusuf, adalah tempat beraktivitas para nelayan, dan kedatangan Rohingya dianggap dapat mengganggu aktivitas para nelayan. Selain itu, alasan lain yang disampaikan adalah ketidakmampuan wilayah tersebut untuk mendukung para pengungsi.
Seorang warga setempat juga mengatakan, “Kami atas kemanusiaan. Dia (Rohingya) orang islam. Sudah kami terima, tapi sekarang sudah cukup kami menerima.”
Sementara itu menurut kesaksian warga setempat, dan juga Kapolsek Jangka Ipada Novizal mengatakan, “Warga sering memberikan bantuan berupa makanan, air minum dan mi instan kepada para pengungsi Rohingya itu, tapi mereka malah membuang bantuan itu ke laut.”
Kemudian salah seorang juga mengatakan, “Para pengungsi itu tidak menjaga kebersihan dan tidak mengindahkan syariat Islam dan adat kalangan masyarakat Aceh.”
Apa yang Pemerintah Indonesia Lakukan untuk Rohingya?
Di Aceh Utara, ada 120 unit kamar yang berdiri di lahan lima hektar. Fasilitas disini terdapat masjid besar, taman bermain anak-anak, sekolah, dapur umum lengkap dengan kompor gas, beberapa kamar mandi dengan air mengalir dengan tekanan yang kuat. Inilah penampungan pengungsi di Bang Adoe, Kabupaten Aceh Utara. Kompleks ini sengaja dibangun untuk menampung pengungsi Rohingya.
BACA JUGA:5 Teori Asal-Usul Orang Jawa Berdasarkan Catatan Sejarah
Pembangunannya memakan biaya hingga Rp6 Miliar. Tapi belum genap 1 tahun, unit-unit kamar di penampungan ini sekarang kosong. Tadinya ada sekitar 319 pengungsi rohingya di sini tapi sekarang tinggal tersisa 75 orang termasuk dengan bayi yang lahir selama beberapa bulan terakhir.
Mereka diketahui kabur ke Medan Sumatera Utara dan bahkan sebagian sudah sampai di Malaysia akibatnya fasilitas yang telah disediakan pemerintah Indonesia ini menjadi mubazir.