Sementara itu, pendapat kedua menyatakan bahwa mereka baru muncul sebagai kekuatan identitas dalam seabad terakhir, dan pemerintah Myanmar percaya bahwa etnis Rohingya adalah pendatang baru yang berasal dari subkontinen India.
Tahun 1982 menjadi momentum krusial bagi komunitas Rohingya ketika pemerintah Myanmar mengeluarkan undang-undang kewarganegaraan. Akibat kebijakan ini, etnis Rohingya dikecualikan sebagai ras nasional Myanmar, menjadikan mereka sebagai populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia, atau yang sering disebut sebagai stateless.
Organisasi global, UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), turut campur tangan untuk mengatasi masalah ini. Menurut UNHCR, populasi Rohingya yang tanpa kewarganegaraan tidak memiliki hak-hak dasar dan perlindungan. Mereka sangat rentan terhadap eksploitasi, kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender, dan pelecehan terhadap kaum wanita.
Sebagian besar Rohingya tinggal di negara bagian Rakine, yang merupakan wilayah termiskin di Myanmar. Secara historis, keberadaan Rohingya tidak disukai oleh mayoritas penduduk di Rakine yang didominasi oleh penganut agama Buddha. Rohingya dipandang sebagai pemeluk Islam dari negara lain, sehingga kebencian terhadap etnis Rohingya mulai meluas di seluruh Myanmar.
Dimulainya Masa Kegelapan Etnis Rohingya
Setelah Burma merdeka pada tahun 1948, ketegangan antara pemerintah dan etnis Muslim Rohingya terus berlanjut dengan gerakan politik dan bersenjata.
Sekitar 13.000 orang Rohingya mencari perlindungan di kamp pengungsian di India dan Pakistan, tetapi hak warga negara mereka untuk kembali ke Burma ditolak sejak saat itu. Etnis Rohingya sejak itu mengemban status sebagai manusia tanpa negara.
Seiring dengan pembangunan bangsa pada tahun 1962, pemerintah Burma di bawah Jenderal Ne Win memulai penindasan terhadap Rohingya dengan membubarkan organisasi politik dan sosial mereka. Pasukan pemerintah secara brutal mengusir ribuan Muslim Rohingya, membakar pemukiman, melakukan pembunuhan, dan bahkan pemerkosaan. Pada tahun 1978, lebih dari 200.000 Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Upaya pengusiran terus dilakukan oleh pemerintah Burma, membuat ribuan Muslim Rohingya mengungsi ke beberapa negara. Namun, banyak negara tidak bersedia menerima mereka karena mereka tidak memiliki kewarganegaraan, sementara mereka tetap tinggal di Myanmar.
UNHCR mencatat bahwa hidup dan kehidupan Rohingya selama puluhan tahun di Myanmar diwarnai oleh kekerasan, diskriminasi, dan persekusi. Sejak tahun 1990-an, orang Rohingya mulai meninggalkan Myanmar, mencapai puncaknya pada tahun 2017 ketika gelombang kekerasan di negara bagian Rakhine memaksa lebih dari 742.000 orang, setengahnya anak-anak, meninggalkan negara tersebut. Mereka mencari perlindungan di Bangladesh, menciptakan exodus terbesar dalam sejarah panjang Rohingya.
Selama peristiwa ini, desa-desa dibakar, ribuan keluarga dibunuh, dan pelanggaran hak asasi manusia melimpah, menghasilkan laporan-laporan dari berbagai lembaga kemanusiaan.
Seorang pengungsi Rohingya di kamp pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh, menggambarkan betapa mengerikannya situasi di Myanmar dengan mengatakan, "Lebih baik mereka membunuh kami daripada mendeportasi kami kembali ke Myanmar." Pernyataan ini mencerminkan keengganan mereka untuk kembali ke negara yang telah menyaksikan kekejaman begitu besar.
Menurut laporan UNHCR per 31 Oktober 2023, terdapat sekitar 1,2 juta pengungsi Rohingya yang mencari perlindungan di berbagai negara di seluruh dunia. Bangladesh menjadi negara yang menampung jumlah terbesar, dengan sekitar 967.842 orang pengungsi.
Diikuti oleh Malaysia dengan sekitar 157.731 orang, Thailand 91.339 orang, India 78.731 orang, dan Indonesia menampung 882 orang. Meskipun jumlah yang tiba di Aceh relatif sedikit, dalam satu pekan terakhir terjadi peningkatan lebih dari 100%, mencapai sekitar 1000 orang.
Direktur Arakan Project, lembaga advokasi HAM Rohingya, Chris Lewa, menyatakan bahwa Indonesia bukan tujuan utama bagi pengungsi Rohingya dalam mencari perlindungan. Indonesia lebih berperan sebagai tempat transit karena mereka tidak dapat mendarat di Malaysia atau tidak dapat mencapai Malaysia.
Secara umum, komunitas Rohingya di Malaysia lebih besar, dan mereka memiliki kesempatan untuk bekerja meskipun secara gelap atau tidak resmi. Mayoritas dari mereka bekerja di sektor industri seperti konstruksi dengan penghasilan sekitar Rp3,3 juta per bulan, yang sebenarnya tidak mencukupi untuk bertahan hidup di Malaysia.
Mengapa Terjadi Peningkatan Gelombang Pengungsi Rohingya ke Indonesia?
Lebih dari 1000 pengungsi Rohingya tiba di Indonesia dengan menggunakan perahu, melarikan diri dari kondisi penuh sesak dan memburuk di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh. Para pengungsi menghadapi kesulitan hidup yang signifikan di Bangladesh karena kekurangan makanan, kurangnya keamanan, pendudukan, dan sulitnya mencari pekerjaan.