Indonesia Green Connect 2025 Bahas Isu Pengelolaan Sampah dan Kolaborasi Teknologi Hijau

--
Namun, tantangannya adalah minimnya eksposur terhadap teknologi-teknologi tersebut dibandingkan dengan eksposur terhadap sampah yang muncul setiap hari.
“Masalah lainnya adalah keterbatasan lahan untuk pembangunan insinerator, terutama di area perkotaan yang padat penduduk. Contohnya keberhasilan kota seperti Kopenhagen, Denmark, yang mampu membangun insinerator besar di pinggir kota yang sekaligus menjadi tempat wisata,” ungkapnya.
Menurutnya, model seperti ini harus mulai diadaptasi di Indonesia. Jadi kita sebenarnya sudah punya banyak teknologi, yang utama sekarang adalah literasi dan kolaborasi.
“istilah green technology merujuk pada teknologi bersih dan sehat, yang bersahabat dengan lingkungan. Green biasanya identik dengan tanaman, sedangkan blue terkait dengan air. Keduanya menjadi pilar penting dalam menciptakan ekosistem berkelanjutan,” papar Sugeng.
“Kalau kita berbicara makhluk hidup, jangan hanya manusia. Ada banyak makhluk lain di sekitar kita yang menjadi satu ekosistem yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia,” lanjutnya.
Sementara itu, Founder & CTO Ecadin, Syarif Riyadi mengatakan bahwa visi mereka berangkat dari kekuatan teknologi.
“Kita bisa meng-influence pemerintah dan stakeholder lain untuk memformulasi peraturan yang berbasis teknologi,” katanya.
Ia menyebut, negara-negara maju memulai pembangunan mereka dari kompetensi teknologi yang kuat, lalu merumuskan regulasi, hingga menghasilkan ekonomi yang inklusif dan ramah lingkungan.
“Dengan mengusung tema green, IGC ingin mendorong teknologi yang bersih dan mendukung target Net Zero Emission Indonesia pada 2060. Kita tidak bisa sendiri, harus ada bridging antara riset, industri, dan implementasi sampai ke masyarakat,” tutup Syarif. (*)
Sumber: