Proses Hukum Kasus Pembunuhan Santri di Ibun Dinilai Janggal, Keluarga Korban Demo PNBB

Proses Hukum Kasus Pembunuhan Santri di Ibun Dinilai Janggal, Keluarga Korban Demo PNBB-Agi-Jabar Ekspres
RADAR JABAR - Puluhan massa dari keluarga korban santri yang meninggal dunia di Ibun menggelar aksi unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri (PN) Bale Bandung, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Rabu, 23 Juli 2025. Dalam aksinya, keluarga korban menuntut keadilan atas kematian Ahmad Nurhidayat (14), santri yang diduga menjadi korban pembunuhan di lingkungan Pesantren Ar-Rohman, Kecamatan Ibun.
Massa yang terdiri dari keluarga dan kerabat korban datang sekitar pukul 10.00 WIB sambil membawa spanduk bertuliskan #KeadilanUntukAhmad sebagai bentuk protes terhadap dugaan kejanggalan dalam proses hukum kasus tersebut. Koordinator aksi, Rusli Hermawan, mengatakan jika aksi ini merupakan tidak lanjut atas kasus yang menimpa Ahmad Nurhidayat pada bulan Maret 2025 silam.
Ia menilai banyak kejanggalan dalam proses hukum yang berjalan meskipun pelaku berisinial FH (23) sudah ditangkap lantaran menyerahkan diri usai kasus tersebut terungkap.
“ini aksi kita menindaklanjuti keadilan yang memang beberapa bulan lalu ini belum diungkap. Memang dalam proses perjalanannya dari ditangani Reskrim, dari mulai penyidikan di kejaksaan sampai di pengadilan, terjadi beberapa banyak kejanggalan, baik dari sisi saksi maupun dalam pasal-pasal penerapan yang diterapkan juga itu jauh dari apa yang semestinya dan apa yang diharapkan oleh kebenaran,” ujar Rusli saat ditemui di sela-sela kegiatan aksi.
BACA JUGA:Ribuan Tenaga Terampil Disertifikasi, Ini Harapan DPUTR Kabupaten Bandung
BACA JUGA:Gelar Bimtek dan Sertifikasi Tenaga Terampil, DPUTR Kab Bandung Ingin SDM Jaskon Lebih Bedas
Ia menambahkan, dalam penerapan pasal terhadap pelaku di pengadilan, pihaknya menemukan beberapa keringanan, di mana seharusnya pelaku dijerat pasal pembunuhan berencana dan pembunuhan anak di bawah umur. Sedangkan yang diterapkan oleh pengadilan, lanjutnya, hanya pasal penganiayaan ataupun penyiksaan terhadap santri yang berakibat fatal dan berujung kepada kematian serta termasuk pembunuhan biasa.
“Kami melihat dalam penerapan pasal yang diterapkan oleh pengadilan ini ada peringanan. Yang semestinya jika kemudian si pelaku ini berumur 25 tahun, tentu ini bakalan terjerat pasal pembunuhan terhadap anak di bawah umur,” ujarnya.
Yang kedua, sambung Rusli, yaitu persoalan pembunuhan berencana. Apabila bisa dibuktikan bahwa tindakan pelaku adalah pembunuhan berencana, tentu pasalnya pun bertambah. Tak hanya itu, Rusli juga menyesalkan tidak dilibatkannya keluarga korban dalam semua proses hukum kasus pembunuhan terhadap Ahmad Nurhidayat.
“Terus juga pada konteks rekonstruksi, tidak ada pemberitahuan dan tidak adanya seruan bagi keluarga untuk melihat secara langsung rekonstruksi, reka adegan, apa yang terjadi sebenarnya,” bebernya.
“Sehingga kami keluarga tentu bertanya-tanya, kenapa hal ini ditutupi? Apakah ada kejanggalan atau bagaimana,” katanya.
Dalam proses tersebut menurutnya juga ada sabotase, baik saksi maupun kronologi yang semuanya bersumber dari pihak pesantren.
“Dari mulai saksi, termasuk juga siapa yang melakukan statement, siapa yang melakukan deskripsi terkait kronologis itu kan pihak pesantren. Yang memberi penjelasan hanya pesantren, tidak ada saksi, tidak ada saksi kunci. Nah ini masalahnya,” tegasnya.
Selain itu, pihak keluarga juga menilai adanya relasi kekuasaan, mengingat pelaku merupakan anak dari pondok pesantren tersebut.
Sumber: