Ketahui 7 Fakta Kenaikan UMR di Indonesia, Pengusaha Bisa Makin Bangkrut

Ketahui 7 Fakta Kenaikan UMR di Indonesia, Pengusaha Bisa Makin Bangkrut

Fakta Kenaikan UMR di Indonesia-Ist-

Misalnya, jika Anda bekerja di pabrik dan hanya mampu menyelesaikan lima produk sehari, sementara di negara lain pekerja dengan posisi yang sama bisa menyelesaikan 10 atau bahkan 15 produk, maka sebagai pemilik usaha, Anda mungkin akan berpikir dua kali untuk menaikkan gaji karyawan yang hasil kerjanya tidak maksimal.

Ini menjadi dilema bagi banyak pengusaha yang merasa gaji pekerja harus sebanding dengan kontribusinya. Namun, masalah ini tidak sepenuhnya kesalahan pekerja. Ada faktor lain yang memengaruhi, seperti kurangnya pelatihan, teknologi yang tertinggal, atau bahkan manajemen perusahaan yang tidak efektif.

Jadi, jika kita ingin UMR naik signifikan, kita juga harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung.

3. UMKM Terkena Dampak Besar

Anda pasti tahu bahwa UMKM merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia. Namun, sayangnya, mereka juga yang paling sering merasakan dampak negatif dari kenaikan UMR. UMKM biasanya memiliki margin keuntungan yang kecil, sehingga ketika UMR naik, beban mereka menjadi lebih berat.

Bayangkan jika Anda memiliki usaha kecil dan harus membayar gaji karyawan sesuai UMR yang ditetapkan pemerintah, meskipun karyawan Anda hanya tiga orang. Ketika UMR naik, Anda harus membayar gaji mereka lebih besar, sementara pelanggan tidak serta merta menerima kenaikan harga produk Anda.

Misalnya, jika Anda menjual produk dengan harga Rp15.000 dan harus menaikkannya menjadi Rp18.000, pelanggan mungkin akan beralih ke tempat lain yang menawarkan harga lebih murah.

Masalahnya, tidak semua UMKM memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan ini, sehingga banyak yang gulung tikar atau kembali ke sektor informal. Jika ini terus terjadi, UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi kita bisa runtuh.

4. Berbeda di Setiap Daerah

Pernahkah Anda berpikir mengapa UMR di Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya? Hal ini disebabkan oleh perbedaan biaya hidup di setiap daerah. Di Jakarta, harga kebutuhan pokok, transportasi, hingga sewa tempat tinggal sangat tinggi, sehingga UMR di sini pun lebih tinggi untuk menutupi biaya hidup yang mahal.

Namun, di daerah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) atau Sulawesi, UMR mereka jauh lebih rendah. Meskipun biaya hidup di sana mungkin lebih murah, banyak pekerja yang merasa gaji mereka masih tidak cukup.

Ketimpangan ini membuat banyak orang dari desa pindah ke kota besar untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi. Masalahnya, urbanisasi ini membuat kota besar menjadi penuh dan sesak, persaingan kerja semakin ketat, dan pada akhirnya tingkat pengangguran justru meningkat. Ketimpangan regional ini tidak hanya membuat pekerja frustrasi, tetapi juga menciptakan masalah sosial yang lebih besar.

5. Bergantung pada Kebijakan Pemerintah

Tahukah Anda bahwa hampir setengah dari tenaga kerja di Indonesia bekerja di sektor informal? Sektor ini meliputi pedagang kaki lima, tukang ojek, buruh serabutan, atau pekerja rumahan. Mereka tidak tercakup dalam aturan UMR, sehingga meskipun UMR naik, hidup mereka tidak otomatis menjadi lebih baik.

Masalahnya, sektor informal sering menjadi jalan pintas bagi orang-orang yang tidak memiliki akses ke pekerjaan formal. Proses masuk ke pekerjaan formal memang rumit dan sering kali membutuhkan keterampilan atau pendidikan yang tinggi, padahal tidak semua orang memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang baik.

Akibatnya, mereka terjebak di sektor informal yang tidak menjamin gaji tetap, apalagi tunjangan. Jika pemerintah tidak serius membantu mereka untuk beralih ke sektor formal, maka kenaikan UMR tidak akan banyak berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, solusi untuk sektor informal ini perlu dibahas dengan serius.

Perlu Anda ketahui, keputusan mengenai UMR sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Meskipun ada masukan dari pengusaha dan serikat buruh, pada akhirnya pemerintah yang menentukan kebijakan final. Namun, kebijakan pemerintah sering kali menjadi tarik ulur antara kepentingan buruh dan pengusaha.

Misalnya, pemerintah khawatir jika UMR dinaikkan terlalu tinggi, pengusaha akan mogok atau memindahkan pabrik mereka ke negara lain dengan UMR yang lebih murah. Di sisi lain, jika UMR dinaikkan terlalu rendah, buruh akan menggelar demonstrasi besar-besaran.

Sumber: