Peran Media dalam Membentuk Dinasti Politik

Peran Media dalam Membentuk Dinasti Politik

Peran Media dalam Dinasti Politik-Ist-

Diskusi kita akan lebih berfokus pada "branding" keluarga ini karena sangat berkaitan dengan peran media dalam proses pemilu yang demokratis. Media memiliki peran yang sangat besar dalam upaya demokratisasi politik Indonesia sejak awal reformasi.

Sejak tahun 1999, media digunakan oleh partai politik yang mulai bermunculan untuk memperkenalkan diri kepada publik. Dari sini, kita perlahan-lahan mengalami apa yang disebut sebagai mediatisasi politik.

Mediatisasi politik adalah proses jangka panjang di mana media memengaruhi proses, institusi, organisasi, dan politik. Proses ini membuat politik semakin kehilangan otonomi, bergantung pada media, serta dibentuk oleh interaksi dengan media. Sejak reformasi, politik kita semakin mengadopsi logika kerja media. Jika media menggunakan peringkat (rating) untuk membuat keputusan dalam pemrograman mereka, politisi menggunakan survei opini publik untuk membuat keputusan politik.

Semakin populer dan disukai seorang politisi oleh publik, semakin besar pula keinginan partai untuk mengusungnya dalam pemilihan umum.

Pemasaran politik pun telah menjadi industri besar yang menguntungkan. Dalam logika media, politik tidak berbeda dengan produk seperti deterjen atau sikat gigi.

Pada Pemilu 2004, Nielsen memperkirakan biaya iklan politik mencapai 400 miliar rupiah, dan pada tahun 2009 angka ini melonjak menjadi 3,6 triliun rupiah. Selama tahun-tahun politik, pendapatan iklan dapat meningkat hingga 20% karena besarnya anggaran iklan politik.

Lalu, apa hubungannya dengan politik dinasti? Semakin menguatnya mediatisasi politik berarti semakin besar pula pengaruh media dalam membentuk dan memperkuat "brand" politik.

Oleh karena itu, banyak politisi menghabiskan uang untuk investasi dalam branding politik. Pada Pemilu 2004, pasangan SBY-JK menghabiskan 50 miliar rupiah hanya untuk memasang iklan di televisi.

Ketika sebuah keluarga memiliki merek politik yang kuat, seperti keluarga Soekarno, Yudhoyono, Soeharto, atau yang terbaru, keluarga Jokowi, maka akan semakin mudah bagi mereka untuk meluncurkan politisi muda di bawah bendera merek tersebut.

Namun, proses ini tidak terjadi secara otomatis. Selain kemampuan dalam memobilisasi dana dan dukungan, dinasti politik juga bergantung pada kampanye permanen.

Memahami Kampanye Terselubung

Apa itu kampanye permanen? Ini adalah praktik pemasaran politik modern yang membuat politisi selalu berada dalam kondisi berkampanye, meskipun mereka tidak sedang berkompetisi dalam pemilu. Mengapa demikian?

Karena konsultan politik terus memantau tingkat persetujuan publik dan peliputan media setiap saat, bahkan ketika seseorang tidak sedang berkompetisi dalam pemilu. Dengan demikian, setiap kebijakan, pernyataan, atau tindakan yang diambil di hadapan publik menjadi bagian dari kampanye dan pencitraan pribadi seorang politisi.

Oleh karena itu, kita tidak bisa menganggap kampanye Gibran baru dimulai pada 2024. Sadar atau tidak, ia sudah menabung kampanye dan membangun pencitraan sejak Jokowi menjabat sebagai presiden pada 2014, ketika ia sering diliput karena memiliki jiwa wirausaha seperti ayahnya.

Kajian-kajian politik menunjukkan bahwa politik dinasti muncul karena adanya warisan sejarah keluarga, kondisi ekonomi yang buruk, institusi dan penerapan hukum yang lemah, perilaku pemilih yang bergantung pada personalisme, dan kegagalan institusi demokrasi dalam menggantikan kekuasaan rezim terdahulu. Indonesia memenuhi semua indikator ini.

Apakah ini berbahaya bagi demokrasi? Ya, kecenderungan dinasti politik menciptakan konsentrasi kekuasaan ekonomi dan politik dalam jaringan keluarga berbasis darah, bukan sistem kepartaian yang berbasis kaderisasi atau kecakapan.

Sumber: