Presiden Filipina Kritik Tindakan Pesawat Tempur Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan

Presiden Filipina Kritik Tindakan Pesawat Tempur Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan

Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. pada Minggu (11/8) mengkritik tindakan pesawat tempur Tiongkok dalam insiden di Laut China Selatan yang melibatkan pesawat patroli Filipina, menyebut tindakan tersebut "ilegal dan ceroboh.--ANTARA

RADAR JABAR - Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. mengecam tindakan pesawat tempur Tiongkok dalam insiden di Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan pesawat patroli Filipina, menyebutnya sebagai "ilegal dan ceroboh." pada Minggu (11/8).

Sebelumnya diketaui bahwa insiden tersebut terjadi pada Kamis (8/8), dengan kedua negara saling menyalahkan.

BACA JUGA:Kecelakaan Tumpukan Sampah di Kampala: 17 Jenazah Ditemukan

Militer Filipina melaporkan bahwa pesawat Tiongkok melakukan manuver berbahaya saat terbang dekat pesawat Filipina dalam misi di sekitar Kepulauan Spratly yang dipersengketakan. Sebaliknya, Tiongkok menuduh pesawat Filipina telah melanggar wilayah udaranya.

"Saya dengan tegas mengecam insiden udara di Bajo de Masinloc awal pekan ini ... Tindakan pesawat Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLAAF) tidak dapat dibenarkan, ilegal, dan ceroboh," kata Marcos Jr., mengacu pada pulau tersebut dengan nama Filipina.

BACA JUGA:Paul Kagame Dilantik sebagai Presiden Rwanda untuk Masa Jabatan Keempat

Sengketa teritorial atas sejumlah pulau dan terumbu karang di Laut TiongkokSelatan melibatkan Tiongkok Filipina, dan beberapa negara Asia-Pasifik lainnya selama beberapa dekade. Cadangan minyak dan gas yang signifikan ditemukan di landas kontinen pulau-pulau tersebut, termasuk Kepulauan Paracel, Pulau Thitu, Karang Scarborough, dan Kepulauan Spratly, termasuk Karang Whitson.

Pada Juli 2016, Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag memutuskan bahwa Tiongkok tidak memiliki dasar untuk klaim teritorial di Laut Tiongkok Selatan, menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut bukan wilayah yang disengketakan dan tidak membentuk zona ekonomi eksklusif, meskipun Beijing menolak menerima putusan tersebut.*

Sumber: antara