RADAR JABAR - Berbagai iklan dan kampanye lingkungan berusaha menggambarkan keunggulan motor listrik dibandingkan motor konvensional, padahal tidak pada kenyataannya.
Keunggulan yang sering kita temui dalam berbagai narasi di media adalah ketika motor-motor lain mengeluarkan asap hitam yang mengepul, si pengendara motor listrik tetap tenang karena motornya tidak demikian.
Motor listrik kemudian digambarkan melesat maju meninggalkan motor-motor konvensional, lalu muncul bunga-bunga bermekaran yang menandakan motor listrik ramah lingkungan. Kamu bisa terbebas dari polusi, begitu katanya.
Namun, apakah kendaraan listrik, baik itu motor ataupun mobil, benar-benar ramah lingkungan sesuai dengan yang dijanjikan oleh iklan? Jawabannya tidak sederhana.
Masalah Besar Penggunaan Kendaraan Listrik
Ada dua titik masalah dalam infrastruktur kendaraan listrik hari ini yang mulai sering digaungkan di Indonesia.
1. Bahan Baku Kendaraan Listrik Cukup Langka
Pertama, produksi kendaraan listrik memberikan dampak lingkungan dan sosial yang negatif bagi warga lokal. Ini terjadi, misalnya, dalam proses produksi baterai. Jika kita bedah komponen penyusun baterai, kita akan menemukan berbagai unsur kimia langka seperti nikel, litium, dan kobalt.
BACA JUGA:5 Kelebihan dan Kekurangan Motor Listrik Dibanding Motor Bensin
Pembukaan pabrik pengolahan nikel untuk baterai mobil listrik di Pulau Obi, Maluku Utara, menyerobot tanah warga tanpa memberikan ganti rugi yang setimpal.
Warga yang menolak diintimidasi dan diancam masuk penjara, sehingga kualitas hidup mereka semakin menurun. Di tambang nikel di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, misalnya, sumber air tercemar dan tidak bisa digunakan.
Iklan dan pemberitaan media seringkali hanya memakai kacamata warga perkotaan ketika membicarakan kendaraan listrik. Yang ditekankan selalu soal bagaimana kendaraan listrik lebih ramah lingkungan karena pemakaian langsungnya tidak menghasilkan polusi.
Kacamata yang bias ini menyembunyikan kenyataan bahwa proses produksi kendaraan listrik sebenarnya merusak lingkungan dan merugikan warga sekitar pertambangan.
2. Sumber Energi
Yang kedua terkait dengan sumber energinya sendiri. Listrik di Indonesia merupakan energi kotor. Memang sekilas terkesan bersih karena kendaraan listrik tidak secara langsung menciptakan polusi, namun kesan itu muncul karena kerusakannya tidak terlihat bagi warga perkotaan.
Menurut data BPS, produksi listrik di Indonesia masih bertumpu pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang bertenaga batu bara, sekitar 50% dari total kapasitas yang sudah terpasang.
Batu bara sebagai sumber energi listrik tercatat sebagai sumber energi paling kotor kedua setelah lignit, yang sebenarnya juga merupakan batu bara dengan kualitas lebih rendah. PLTU juga memiliki tingkat kecelakaan yang sangat tinggi.
Artinya, dalam konteks Indonesia, semakin banyak kendaraan listrik yang dipakai, semakin banyak pula energi yang diperlukan untuk mengisi daya baterainya, sehingga dampak negatif kendaraan listrik terhadap lingkungan dan sosial pun semakin besar.