Sisi positifnya adalah banyak orang yang berbicara tentang masalah-masalah seperti kekerasan seksual yang dulunya tabu. Namun, ada juga konsekuensi negatifnya, yaitu peningkatan flexing, perbandingan, dan oversharing di media sosial.
Yang lebih parah adalah ketika seseorang dituduh melakukan tindakan tertentu, bahkan jika belum ada bukti yang cukup. Orang tersebut mungkin dianggap "toksik" atau dituduh melakukan kejahatan, dan mereka sudah mendapat label negatif sebelum terbukti bersalah. Inilah yang disebut "cancel culture."
Jika seseorang diduga bersalah atau bahkan sudah terbukti bersalah, mereka bisa dihukum dengan cara dipecat atau dihindari dari berbagai aspek kehidupan, seperti pekerjaan atau aktivitas lainnya. Cancel culture bisa menjadi sangat merugikan dan bisa lebih buruk daripada perbuatan yang sebenarnya.
Mungkin ada argumen yang bisa diterima, meskipun saya pribadi cenderung tidak setuju dengan praktik budaya pembatalan (cancel culture). Mengapa? Karena menurut pandangan kami, setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, dan sebelum kesempatan kedua diberikan, seseorang juga berhak membela diri.
BACA JUGA:Mengenal Mental Illness: Memahami Gangguan Kesehatan Mental yang Mempengaruhi Kehidupan Kita
Bahkan, kesempatan pertama pun harus diberikan, terutama jika seseorang belum pernah diberikan kesempatan sebelumnya.
Dampak dari budaya “cancel culture” ini dapat memengaruhi seseorang secara mental, bukan hanya berbicara tentang pekerjaan atau uang, tetapi juga kesehatan mental. Dalam beberapa kasus, dampak ini bahkan bisa lebih parah daripada tindakan yang mereka tuduhkan.
Dan ini hanya jika tuduhan itu benar. Jika tuduhan tersebut adalah fitnah, maka ini bisa berdampak bahkan lebih merusak.
Dengan berkembangnya budaya Jakarta Selatan atau “anak Jaksel”, kita dapat melihat dampak positif dan negatifnya. Ada yang merasa lebih nyaman dengan budaya lama, sementara yang lain lebih suka dengan budaya milenial atau bahkan tanpa media sosial.
BACA JUGA:5 Penyebab dan Ciri-Ciri Orang Gangguan Mental di Era Digital, Jangan Remehkan Gejalanya!
Banyak dari kita merasa terlalu banyak peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, yang pada akhirnya dapat menjadi sangat membingungkan. Meskipun demikian, ini tidak selalu negatif dan memang merupakan bagian dari perkembangan zaman yang kita hadapi.
Dampak Budaya Jaksel
Dalam menghadapi budaya Jakarta Selatan, baik positif maupun negatif, bagaimana kita bisa bersiap-siap agar tidak terpengaruh secara negatif atau jika sudah merasa terpengaruh? Bagaimana kita mengatasi masalah ini?
Pertama, baik Anda termasuk dalam Gen Z anak Jakarta Selatan, atau generasi apapun, penting untuk belajar tentang manajemen diri atau “self management” sebagai alat untuk memperkuat kesehatan mental Anda. Ini berarti Anda harus dapat mengatasi masalah Anda sendiri, seperti menghadapi stres atau konflik, tanpa harus langsung melarikan diri.
Manajemen diri tidak selalu berarti menghindar atau menghindari masalah. Terkadang, Anda harus berani menghadapi masalah tersebut, misalnya dengan berbicara terbuka tentang masalah tersebut.
BACA JUGA:Lagi di Jaksel? Cuss Kunjungi Deretan Cafe yang Cozy dan Instagramable Berikut ini!
Misalnya, jika Anda memiliki masalah dalam hubungan Anda, tidak selalu berarti Anda harus menghindarinya, tetapi Anda mungkin harus berbicara dengan pasangan Anda dan mencoba untuk memecahkan masalah tersebut melalui komunikasi yang efektif.