Stereotip Kehidupan 'Anak Jaksel' dari Konsep Budaya hingga Kesehatan Mental

Sabtu 09-09-2023,18:11 WIB
Reporter : Wanda Novi
Editor : Wanda Novi

RADAR JABAR - Pernahkah mendengar tentang stereotip anak Jaksel? Kami yakin bahwa Anda pernah mendengarnya, bahkan hanya sekilas. Mengenai budaya mereka yang dimulai dari menggunakan bahasa campuran antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Anak muda Jakarta Selatan atau Jaksel kerap membicarakan meditasi mindfulness, kesehatan mental dan fisik, serta hobi-hobi seperti berolahraga di gym, membaca buku, dan berinvestasi saham dan kripto.

Meskipun demikian, pada tengah malam, sebagian dari mereka mungkin akan bersenang-senang dengan minuman keras. Mungkin karena pada saat itu konsep work-life balance sangat ditekankan.

Pengamatan ini tidak hanya terjadi di Jakarta Selatan, tetapi juga di berbagai kota besar. Ini bukan hanya masalah geografis, melainkan lebih tentang pola pikir, gaya hidup, dan budaya.

Jadi, pertanyaannya adalah, apakah ada yang salah dengan budaya anak Jakarta Selatan? Apakah mentalitas ini ada di semua generasi, terutama generasi Z?

BACA JUGA:Mengulas Hubungan Agama dan Kesehatan Mental, Bisa Obati atau Sebabkan Depresi

Penduduk luar Jaksel terkadang berkomentar kritis tentang karakteristik penduduk Jakarta Selatan. Yaitu karakteristik mereka yang selalu mendukung satu sama lain, memahami diri mereka sendiri melalui tes MBTI dan bahasa cinta (love language).

Menariknya, ada kutipan yang mengatakan bahwa fenomena seperti ini tidak hanya terbatas pada Jakarta Selatan, melainkan juga terjadi di berbagai kota besar. Nah, artikel ini akan mencoba memahami budaya anak Jaksel lebih dalam.

Konsep Kesehatan Mental di Jaksel

Sekarang, mari kita mulai dengan mengkaji konsep budaya Jakarta Selatan ini adalah berdasarkan sudut pandang pribadi, serta dari hasil riset yang telah kami baca. Ditambah dari diskusi-diskusi yang telah kami lakukan.

Salah satu penyebab dari fenomena maraknya kampanye kesehatan mental ini adalah peningkatan kesadaran. Positifnya, ini mengakibatkan banyak orang yang lebih memperhatikan meditasi, psikologi, dan hal sejenisnya.

Namun, dampaknya tidak selalu positif. Semakin banyak orang yang menempelkan label pada diri mereka sendiri, seperti label introvert, yang sebenarnya sudah ada sejak dulu. Namun sekarang label-label baru mulai muncul, seperti krisis kepribadian atau bipolar.

Label-label ini seringkali didasarkan pada informasi yang mungkin tidak selalu benar, dan ini bisa berdampak negatif.

Menurut kami, tidak ada masalah jiks curiga bahwa seseorang memiliki gangguan mental, seperti bipolar atau depresi, asalkan diagnosisnya telah dilakukan oleh profesional yang kompeten dan bukan hanya berdasarkan pemikiran sendiri.

Masalahnya, semakin banyaknya label yang dilekatkan pada diri sendiri atau orang lain dapat menyebabkan kesalahan diagnosis oleh psikolog atau dokter, yang dapat berujung pada malpraktek. Beberapa persen dari diagnosis adalah malpraktek atau kesalahan diagnosis, dan ini menjadi masalah serius.

Selain itu, banyak label seperti "toksik," "love language," dan sejenisnya mulai banyak digunakan, terutama di lingkungan kerja. Seperti halnya tentang keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, produktivitas berlebihan, positivitas berlebihan, dan sebagainya.

Kategori :