3 Fakta Busuk Industri Skincare, Banyak Mafia hingga Permainan Koneksi di BPOM

3 Fakta Busuk Industri Skincare, Banyak Mafia hingga Permainan Koneksi di BPOM

Fakta Busuk Industri Skincare-RJ-

Bukti dari permasalahan ini bisa kita bahas lebih lanjut. Di tengah euforia pertumbuhan industri kosmetik, isu overclaim menjadi semakin parah. Hasil survei Populix menunjukkan bahwa 76% masyarakat Indonesia masih senang menggunakan produk lokal.

Survei tersebut juga mengungkapkan bahwa 3% dari responden mampu membeli 4 hingga 6 produk dalam seminggu, bahkan 12% di antaranya membeli produk skincare dasar setiap hari.

Menariknya, Kementerian Perekonomian memberikan informasi yang sejalan. Mereka menyatakan bahwa kategori personal care dan kosmetik merupakan tiga besar penjualan di marketplace dari tahun 2018 hingga 2022, dengan nilai transaksi mencapai Rp13.200 triliun dan volume transaksi mencapai 145 juta transaksi.

Namun, kenyataannya di lapangan tidak sesuai dengan klaim yang dibuat. Menurut survei tahun 2022, hampir 55% pembeli online produk perawatan kulit tidak merasakan manfaat yang dijanjikan oleh merek tersebut. Lebih parah lagi, 25% dari mereka mengalami alergi kulit, sementara 53% lainnya mengalami masalah seperti jerawat dan kulit kering.

Ternyata, sebelum temuan ini, pada tahun 2015 ada sekelompok mahasiswa dari Valdosta State University dan University of Nebraska-Lincoln yang melakukan penelitian serupa. Mereka ingin mengetahui seberapa valid klaim yang dibuat oleh merek kecantikan. Dari 757 klaim yang dianalisis, hanya 136 yang dianggap valid, artinya 621 merek kecantikan telah menipu pelanggannya selama bertahun-tahun.

Temuan ini memperkuat fakta bahwa industri skincare sering memanfaatkan klaim palsu untuk meningkatkan penjualan. Kita juga belum membahas tentang fenomena maklon (pabrik produksi kosmetik atas pesanan), yang menjadi topik diskusi tersendiri.

Lebih jauh lagi, ada dugaan bahwa salah satu pemain lama yang memegang rekor MURI terlibat dalam praktik mafia pabrik. Kabar ini mencuat karena pihak tersebut diduga mampu memproduksi dan mendistribusikan produk berbahaya tanpa izin, hanya karena mereka memiliki koneksi di BPOM.

Kembali ke topik sebelumnya, jika kita telaah lebih dalam, strategi overclaim dapat dibagi menjadi dua praktik utama, false advertising dan false claiming. Secara singkat, kedua hal ini adalah praktik manipulasi informasi oleh sebuah bisnis terkait layanan atau produknya. Tujuannya sederhana: membangun kredibilitas dan kepercayaan konsumen, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan penjualan.

Meskipun terlihat sederhana, praktik ini memiliki dampak serius terhadap kepercayaan konsumen terhadap industri dan para pelakunya. Berdasarkan hasil riset sederhana yang saya lakukan, ada beberapa contoh overclaim skincare yang hingga saat ini masih terjadi.

Salah satu contohnya adalah klaim berlebihan mengenai berat suatu zat. Kasus ini sempat viral oleh seorang dokter detektif, yang mengungkapkan bahwa ada sebuah merek lokal berinisial "D" dan "S" yang melebih-lebihkan kandungan produk mereka. Setelah diperiksa di laboratorium oleh dokter detektif, hasilnya sangat berbeda dengan klaim mereka.

Selain itu, banyak kasus serupa lainnya, seperti overclaim mengenai khasiat produk. Contohnya, ada produk minuman kolagen yang mengklaim dapat memperbaiki kulit yang rusak akibat polusi. Masalahnya, klaim tersebut tidak masuk akal dan tidak didukung oleh bukti ilmiah. Narasi-narasi seperti ini sering kali hanya didasarkan pada pengalaman pribadi, yang digunakan sebagai "tameng" untuk menyesatkan konsumen.

2. False Claim

Contoh lain adalah banyaknya content creator yang membahas tentang "fungal acne" sebelum mempromosikan produk. Padahal, menurut para dermatologis, kondisi tersebut bukanlah kondisi medis yang sah. Klaim tentang fungal acne ini tanpa dasar, dan tergolong false claim. Hal ini berbahaya karena dapat memicu kesalahpahaman di kalangan konsumen.

Meskipun industri skincare berkembang pesat, ada sisi gelap yang perlu kita ketahui. Kasus-kasus ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, lebih dari 82% produk kosmetik terlibat dalam praktik false advertising, yang melanggar aturan FDA.

Sayangnya, kondisi di Indonesia bisa jadi lebih parah. Meskipun kita memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta lembaga seperti BPOM yang mengurus standarisasi dan administrasi, hingga saat ini pelaku overclaim masih merasa bebas tanpa konsekuensi.

Menurut Anda, siapa yang sebenarnya harus disalahkan? Jangan khawatir, ini belum seberapa. Jika diamati lebih dalam, strategi overclaim tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga memberikan keuntungan besar bagi brand, baik secara langsung maupun tidak langsung.

3. Tren Fast Beauty

Sumber: