Hubungan Suka Mengumpat Kasar dengan Kecerdasan Seseorang
Hubungan Suka Mengumpat Kasar dengan Kecerdasan Seseorang-Ilustrasi/Unsplash-
Menariknya, meski Ashley Montagu menyatakan bahwa penggunaan kata-kata kasar berkaitan dengan kurangnya kemampuan verbal, penelitian lain justru menemukan korelasi antara kemampuan mengumpat dengan kecerdasan verbal seseorang.
Pada tahun 2015, ada sebuah penelitian yang mencoba mencari korelasi antara mengumpat dan kecerdasan verbal seseorang. Tes yang dilakukan cukup sederhana. Partisipan diminta untuk menuliskan kata-kata kasar yang dimulai dengan huruf yang ditentukan.
Misalnya, diminta menyebutkan kata-kata kasar yang dimulai dengan huruf "A," seperti "anjay," "anjir," atau "anjing," dan menuliskan sebanyak mungkin. Setelah itu, mereka juga diminta untuk menuliskan nama-nama hewan yang dimulai dengan huruf "A" sebanyak mungkin.
Hasilnya menunjukkan bahwa orang yang mampu menuliskan banyak kata kasar biasanya juga mampu menuliskan banyak kata lain di luar kata-kata kasar.
Hubungan Suka Mengumpat dengan Kecerdasan Seseorang
Jadi, apakah orang yang suka mengumpat adalah orang yang pintar secara verbal? Jawabannya belum bisa dipastikan. Tujuan penelitian ini hanya mencari korelasi antara kemampuan mengumpat dan kecerdasan verbal, bukan hubungan sebab-akibat.
Untuk menyimpulkan hubungan sebab-akibat antara kecerdasan dan kemampuan mengumpat, diperlukan banyak variabel lain, seperti lingkungan, budaya, sejarah, bahkan agama, yang tidak bisa diabaikan.
Agama juga memengaruhi tabu sebuah kata. Misalnya, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, memiliki pandangan bahwa air liur anjing dianggap najis, dan babi adalah hewan yang haram untuk dikonsumsi.
Ini sering membuat orang menganggap anjing dan babi sebagai hewan yang hina, meskipun sebenarnya tidak demikian. Tubuh manusia juga haram untuk dimakan, tetapi itu tidak berarti manusia adalah makhluk yang hina.
Jadi, kata umpatan seperti "anjing" dan "babi" hanya dianggap negatif di Indonesia dan beberapa negara Timur. Di negara Barat, kata "anjing" terkadang memiliki konotasi positif, melambangkan ketangguhan dan keberanian, mirip dengan penggunaan kata "jago" dalam bahasa Indonesia.
Kata "jago" sendiri berasal dari nama ayam jago, karena ayam jantan sering digunakan dalam sabung ayam. Namun, asal usul kata "jago" sebenarnya dari bahasa Portugis, "jogo," yang berarti permainan. Mungkin, orang-orang di masa lalu melihat ayam yang bertarung dalam sabung ayam sebagai gladiator yang kuat dan rela mati, sehingga orang hebat disebut sebagai "jago."
Menurut Richard Stephens, bagi sebagian orang, mengumpat dapat membantu meredakan rasa sakit. Ia menjelaskan bahwa kata-kata kasar mampu merangsang tubuh dan otak untuk lebih mentoleransi rasa sakit.
Stephens melakukan eksperimen bernama cold pressor test, di mana para peserta diminta menahan tangan mereka dalam air es selama mungkin. Pada kondisi pertama, peserta diminta mengucapkan kata-kata netral atau yang tidak memiliki makna saat menahan tangan di air es.
Pada kondisi kedua, mereka diizinkan untuk mengucapkan kata-kata kasar atau sumpah serapah. Hasilnya menunjukkan bahwa peserta yang menggunakan kata-kata kasar atau sumpah serapah mampu menahan rasa sakit lebih baik dibandingkan dengan mereka yang hanya menggunakan kata-kata netral.
Pilihan kata-kata kasar juga dipengaruhi oleh sejarah dan budaya. Misalnya, di kalangan orang Afrika-Amerika, penggunaan kata N-Word dianggap sangat kasar, sedangkan di Indonesia, penyebutan nama ras tidak dianggap kasar.
BACA JUGA:5 Kelebihan Menjalin Hubungan dengan Anak Tunggal Perempuan
Sumber: vaikunta