RADAR JABAR - Kepemilikan jaminan kesehatan kini bukan sekadar kebutuhan, melainkan sebuah keharusan. Hal ini disadari betul oleh Lu’lu’il Fajriah atau akrab disapa Jiah, seorang mahasiswi berusia 21 tahun asal Indramayu yang kini tengah menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Bandung.
Awalnya, Jiah dan keluarga belum begitu memahami pentingnya menjaga status kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) agar tetap aktif. Mereka baru merasakan urgensi tersebut ketika sang ibunda mengalami kondisi medis serius akibat hipertiroid dan membutuhkan penanganan segera.
“Ibu saya waktu itu mendadak sakit karena hipertiroid. Tapi pas mau dibawa berobat, ternyata BPJS Kesehatannya tidak aktif karena ada tunggakan. Kami jadi cukup panik karena pengobatannya tidak bisa ditunda,” ungkap Jiah.
Situasi tersebut membuat keluarga Jiah segera mengupayakan pelunasan iuran tertunggak agar ibundanya bisa kembali mendapatkan layanan kesehatan. Ia pun memahami konsekuensi dari keterlambatan tersebut, termasuk adanya denda layanan rawat inap.
“Walaupun terkena denda 5 persen sesuai ketentuan karena sebelumnya ada tunggakan, tapi kami mengerti karena memang ada kelalaian dari kami dalam pembayaran iuran,” ujar Jiah.
Denda pelayanan yang dimaksud mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang mengatur bahwa peserta menunggak yang mengaktifkan kembali kepesertaannya dan menjalani rawat inap dalam 45 hari sejak pelunasan iuran akan dikenai denda sebesar 5 persen dari biaya diagnosa awal dikalikan jumlah bulan tertunggak (maksimal 12 bulan).
BACA JUGA:BPJS Kesehatan Apresiasi Santosa Hospital Bandung Raih Juara 1 Nasional Digitalisasi
BACA JUGA:BPJS Kesehatan Gelar Forum Kemitraan Bersama Pemkot Bandung untuk Tingkatkan Mutu Layanan Kesehatan
Setelah menjalani perawatan di rumah sakit daerah, kondisi ibunda Jiah belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Mengingat keterbatasan fasilitas medis di rumah sakit tersebut, dokter pun merujuk sang ibu untuk mendapatkan penanganan lanjutan di rumah sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap di Jakarta.
“Proses rujukannya juga mudah, tidak ada hambatan selama memang diagnosisnya jelas sesuai indikasi medis dari dokter dan memang kondisi pasien membutuhkan perawatan lanjutan. Saya bersyukur karena semuanya lancar dan cepat ditangani,” jelas Jiah.
Dalam pengalamannya, Jiah merasa pelayanan yang diterima oleh pasien JKN tidak dibedakan dengan pasien lainnya. Ia pun merasa dihargai sebagai peserta mandiri yang iurannya dibayarkan sendiri.
“Pelayanannya sama rata semua. Nggak dibedakan walaupun kami pakai JKN. Saya juga pernah pakai untuk rawat jalan karena sakit tipes dan pelayanannya baik,” tambahnya.
Sejak kejadian tersebut, Jiah semakin menyadari pentingnya menjadi peserta JKN yang aktif dan berkomitmen untuk rutin membayar iuran setiap bulannya. Menurutnya, jaminan kesehatan bukan hanya soal kesehatan semata, tetapi juga perlindungan ekonomi bagi diri dan keluarga.