Sejarah Pengaruh LGBTQ di Eropa, Sudah Ada Sejak Zaman Yunani Kuno

Minggu 06-10-2024,13:59 WIB
Reporter : Wanda Novi
Editor : Wanda Novi

RADAR JABAR - Pada Februari 2016, Manny Pacquiao, seorang petinju asal Filipina, pernah berkata dalam suatu acara televisi bahwa hewan lebih baik daripada kaum transgender karena dapat membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Setelah pernyataan tersebut, Pacquiao pun dikecam di berbagai tempat dan mengalami pemutusan kerja sama oleh pihak Nike. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada Juni 2020, J.K. Rowling, selaku penulis novel berjudul Harry Potter, juga diboikot secara besar-besaran setelah menyatakan pendapat yang dianggap anti-trans.

Di sisi lain, setiap tahunnya, negara-negara Barat seperti Inggris, Jerman, Spanyol, dan Amerika Serikat selalu mengadakan parade kebanggaan (pride) dengan tujuan untuk menyuarakan hak-hak kaum LGBT. Selain itu, terdapat berbagai bentuk dukungan untuk kaum LGBTQ+ di dunia game, musik, film, dan sebagainya.

Namun, jika melihat ke masa lalu, benua Eropa bisa dibilang sangat menolak perilaku semacam ini. Anehnya, di zaman modern, keadaan malah berbalik, di mana kaum transgender menjadi "berkuasa" dan mampu menyudutkan kaum yang dianggap normal.

Sejarah Pengaruh LGBT di Eropa

Kita akan membahas sejarah kaum LGBTQ di Eropa, bagaimana mereka bisa diterima, serta mengapa kaum tersebut sangat berkuasa.

Di era Yunani Kuno, tepatnya pada periode Arkaik, orang-orang Yunani memiliki tradisi di mana jika seorang anak laki-laki telah memasuki usia remaja, ia diharuskan untuk keluar dari sukunya dan ditemani oleh seorang pria dewasa untuk dididik tentang cara hidup orang Yunani serta tanggung jawab sebagai seorang pria dewasa.

BACA JUGA:Mengerikan! Ini Alasan Negara-Negara Barat Selipkan Unsur LGBT di Banyak Game

BACA JUGA:Penjelasan Adanya Gen Gay Sejak Lahir dalam Islam, LGBT Tetap Boleh Dinormalisasi?

Praktik ini biasanya berakhir ketika remaja tersebut sudah dianggap dewasa, baik dari segi fisik maupun mental. Namun, seiring waktu, praktik ini justru menimbulkan hubungan yang lebih dalam antara pria dewasa yang berperan sebagai pasangan aktif dan remaja laki-laki yang menjadi pasangan pasif.

Hubungan ini disebut pederasti, yang merupakan bentuk tindakan penyuka sesama jenis yang paling umum di Yunani pada saat itu. Fenomena ini sangat umum, sehingga kita dapat menemukan berbagai karya seni Yunani kuno yang menunjukkan praktik hubungan semacam ini.

Meskipun demikian, di Athena, salah satu kota di Yunani pada waktu itu, terdapat kecenderungan untuk membatasi fenomena ini dengan membuat aturan-aturan yang melarang praktik tersebut secara tidak langsung, seperti aturan yang menyatakan bahwa guru dan murid dilarang memasuki sekolah sebelum dan sesudah jam pelajaran.

Bahkan, Plato, yang notabene tinggal di Athena, secara terang-terangan menolak hubungan semacam ini dengan alasan bahwa itu tidak alami.

Sementara itu, di daerah lain seperti Sparta, seorang prajurit biasanya akan mencari rekrutan muda untuk dilatih dalam cara berperang, dengan harapan rekrutan tersebut akan menjadi pasangan dalam pasukan Sparta kelak.

Pada awalnya, tentara Sparta terdiri dari orang-orang dari berbagai suku. Namun, cara ini kurang efektif, karena ketika seorang tentara melihat tentara lain dalam bahaya, mereka cenderung mengabaikannya, mengingat mereka berasal dari suku yang berbeda.

Mengetahui adanya masalah ini, seorang jenderal legendaris dari pasukan Thebes menyarankan untuk membentuk pasukan Sparta dengan pasangan penyuka sesama jenis.

Kategori :