Selanjutnya adalah orang Melayu kuno yang diperkirakan datang minimal 500 tahun sebelum Masehi. Mereka tinggal secara berkelompok beranggotakan satu kekerabatan, baik itu dari pihak ayah maupun ibu, dalam sebuah hunian tetap, serta terletak tidak jauh dari sumber air, di pinggiran sungai, atau di atas rawa. Itulah mengapa rumah mereka biasanya berbentuk panggung dan berukuran besar.
Secara sosial, mayoritas Melayu kuno adalah orang terbuka yang mampu beradaptasi secara cepat serta mampu bersosialisasi dengan orang-orang di luar kekerabatan mereka. Oleh karena itu, bahasa dan kebudayaan Melayu kuno dapat dengan cepat menyebar serta diadopsi oleh para penduduk awal Nusantara lainnya, baik itu melalui si langsung maupun melalui perkawinan silang di antara mereka.
BACA JUGA:7 Mitos Pamali Orang Sunda, Nomor 5 Sering Dilanggar
Di Tatar Sunda, kombinasi ras, bahasa, kebudayaan, serta ilmu pengetahuan di antara para penduduk awal Nusantara inilah yang pada akhirnya melahirkan keturunan-keturunan dengan ciri-ciri fisik baru yang secara otomatis memiliki gaya hidup dan kebudayaan baru.
Hasil dari adopsi silang kebudayaan yang telah disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar mereka dapat dilihat antara lain dalam bentuk rumah panggung khas Melayu kuno yang dibuat berukuran lebih kecil dan pendek, hanya diisi oleh keluarga inti.
Rumah ini terletak pada areal pemukiman yang tidak murni berdasarkan kekerabatan, bahkan cenderung berdasarkan kesamaan profesi. Sistem kekerabatan parental yang mengikat kekerabatan dari pihak ayah dan ibu, khas Melayu purba, dipertahankan.
Meski mayoritas orang Sunda secara sosial ramah dan terbuka dengan orang lain, namun sampai saat ini masih ditemukan pula kelompok-kelompok yang secara sosial tertutup, sesuai dengan ciri kehidupan Australomelanesoid. Demikian pula, kepercayaan atas dewa-dewi yang merupakan ciri khas dari kaum Dravida masih dapat ditemukan di beberapa tempat di Jawa Barat.
Dari sisi keilmuan, khususnya di bidang Bahari, terjadi peningkatan yang sangat signifikan, menyebabkan leluhur orang Sunda menjadi para pelaut ulung. Mengutip kembali catatan Suma Oriental oleh Tome Pires pada tahun 1513, saat itu orang Sunda telah terkenal sebagai para pelaut yang gagah berani dan memiliki berbagai macam tipe kapal seperti pelantara dan tipe Jung.
Mereka telah mampu menjelajahi seluruh wilayah Nusantara, bahkan telah mencapai kawasan Maladewa, India, dan pertengahan para pelaut ini pergi membawa komoditas seperti hasil bumi emas serta kain untuk diperdagangkan di mancanegara.
BACA JUGA:Lestarikan Tradisi Sunda, Titimangsa Hadirkan Pagelaran Seni Tradisi “Sukabumi 1980”
Dan sekembalinya ke wilayah Jawa Barat, mereka membawa komoditas lain untuk diserahkan ke pihak kerajaan atau untuk diperdagangkan, antara lain kaum muda kuda, keramik, serta barang-barang komoditas lain yang pada saat itu tidak didapati atau sangat jarang keberadaannya di Nusantara atau di Tatar Sunda.
Oleh Tome Pires, orang Sunda juga digambarkan sebagai kaum yang bersahaja, berjiwa satria, jujur, dan pekerja keras.
Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor karakter Kasundaan yang dianut oleh mayoritas orang Sunda, yaitu:
- Sager atau sehat
- Bager atau baik
- Benar atau benar
- Singer atau mawas diri
- Wanter atau berani
- Pintar atau cerdas
Karakter Kesundaan ini dipercayai sebagai jalan menuju keutamaan hidup dan telah menjadi bagian dari budaya orang Sunda yang mendarah daging sejak zaman dahulu hingga saat ini.
Dari sisi bahasa, setidaknya dari abad ke-14, orang Sunda telah memiliki aksara sendiri yang dikenal dengan nama ngalagena. Aksara ini digunakan pada prasasti Kawali atau prasasti Astana Gede untuk mengenang Prabu Niskala Wastu Kencana yang memerintah di Kawali Ciamis antara tahun 1371 hingga tahun 1475.
BACA JUGA:5 Makanan Asli Sunda yang Wajib Dicoba, Salah Satunya Seblak