RADAR JABAR - Jika mendengar kata Jepang, kita langsung terbayang negara yang sangat unik dengan banyak ciri khas yang khas dan juga kontradiktif. Misalnya, jika Anda membuat video di Jepang, Anda harus mengaburkan wajah orang-orang.
Namun yang menarik adalah meskipun mereka sangat menghargai privasi, orang Jepang tidak terbiasa mengunci pintu kamar di rumah merekamereka. Bahkan, banyak pintu standar di Jepang didesain tanpa fitur pengunci pintu.
Bagaimana bisa ada orang yang ingin pintu kamarnya tidak dikunci tapi tetap ingin menghargai privasinya? Setelah kami mencari informasi, ternyata ada alasan mengejutkan di balik kebiasaan ini.
Kenapa pintu di Jepang tidak perlu dikunci atau didesain agar tidak dapat dikunci? Alasannya adalah untuk mencegah apa yang disebut "hikikomori," yang merupakan krisis kesehatan mental yang sudah lama dikenal dan menghantui banyak masyarakat Jepang.
Pemerintah juga prihatin dengan masalah ini. Pada tahun 2016, ditemukan sekitar 540.000 orang mengalami hikikomori. Kondisi ini semakin memburuk setelah pandemi COVID-19, di mana jumlahnya meningkat hingga satu setengah juta orang, artinya ada peningkatan sekitar 150% sejak tahun 2016.
Fenomena ini membuat kita bertanya-tanya seberapa parah sebenarnya hikikomori ini dan mengapa banyak orang memilih untuk mengisolasi diri. Bagi Anda yang belum tahu, hikikomori adalah kondisi di mana seseorang mengisolasi diri dari masyarakat.
Pengertian Hikikomori
Hikikomori (引きこもり, ひきこもり, atau 引き籠もり) adalah mengisolasi diri, dan istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan orang yang memilih untuk menyendiri di dalam kamar, bahkan selama 6 bulan atau lebih, dan memutus hubungan sosial dengan orang lain. Mereka menjalani hidup sendiri, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara psikologis.
Misalnya, saat kita mungkin masih berkomunikasi lewat telepon atau media sosial seperti WhatsApp meskipun pandemi COVID-19, namun bagi mereka yang mengalami hikikomori, mereka telah menarik diri secara psikologis dengan menghindari tempat-tempat interaksi sosial seperti sekolah atau tempat kerja. Mereka benar-benar enggan berinteraksi dengan teman-teman mereka.
Sejarah Hikikomori
Fenomena hikikomori ini pertama kali mendapat perhatian pada tahun 1990-an ketika Jepang mengalami masa sulit secara ekonomi, menyebabkan banyak anak muda menghadapi kesulitan dalam mencapai tujuan mereka.
Banyak dari mereka memilih untuk menyembunyikan rasa malu dengan menyendiri dari masyarakat. Istilah "hikikomori" diperkenalkan oleh seorang psikiater Jepang, yaitu Profesor Tamaki Saito, yang melihat banyak anak muda yang menunjukkan perilaku ini, meskipun tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis gangguan kesehatan mental secara klinis. Namun, penarikan diri mereka sangat ekstrim dan memprihatinkan.
Saat ini, hikikomori sudah dilihat sebagai fenomena kesehatan mental dan sosio-kultural yang mempengaruhi banyak orang, termasuk anak-anak muda hingga orang tua.
Fenomena ini bukan hanya berdampak pada anaknya saja, tetapi juga orang tua yang merasa stres. Di Jepang, seperti di banyak negara Asia, orang tua seringkali tinggal bersama anak-anak mereka dan menghabiskan banyak waktu untuk memastikan kebutuhan anak-anak terpenuhi.
Namun, saat anak mengalami hikikomori, ini juga menimbulkan rasa malu bagi keluarga, mirip dengan gangguan mental yang sering terjadi di Indonesia, di mana orangtua atau keluarga merasa malu jika ada anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan mental dan cenderung menyembunyikannya atau bahkan membatasi gerak mereka secara fisik (pasung).
Penyebab Hikikomori
Banyak orang yang masih membatasi gerak orang-orang dengan gangguan mental di Jepang. Di Jepang, masalah ini seringkali ditanggung sendirian oleh keluarga untuk melindungi citra keluarga. Setelah kami melakukan riset dan mempelajari berbagai sumber, kami menemukan tiga akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya hikikomori: